Rabu, 12 Agustus 2015

SATRIO PININGIT DALAM FILOSOFI HINDU




SATRIO PININGIT DALAM FILOSOFI HINDU
Oleh: Cakra Ningrat

PENGANTAR

Sesungguhnya Cakra Ningrat tidak dalam posisi selaku pihak yang harus menjawab pertanyaan Saudara Putra mengingat penulis artikel TRISULA WEDHA adalah Guru Agung Yaman Al Bughury. Oleh karena Admin meminta kami menanggapi atau menjawab pertanyaan Saudara Putra maka dengan niat yang tulus kami berusaha memberi yang terbaik agar kita semua dapat menjadi orang yang “sadar dan tercerahkan”. Jawaban atas pertanyaan Saudara Putra saya tulis dalam bentuk artikel agar dapat dipajang di blog yang terhormat ini sebab bila ditempatkan di kolom komentar akan banyak menggunakan tempat. Terima kasih.

Setelah membaca berulang-ulang artikel “Trisula Wedha” saya dapat menarik sebuah kesimpulan sederhana bahwa penulis artikel itu telah melakukan sebuah kajian khusus dan mendalam terhadap hakikat dan makna pesan-pesan baik yang tersirat maupun yang tersurat sebagaimana yang terdapat dalam ramalan Jayabaya. Diramalkan oleh Jayabaya bahwa akan muncul seorang sosok ksatria yang akan memimpin tanah jawa (nusantara). Gambaran sosok ksatria tersebut terdapat dalam bait N0.159 (Hal.4 artikel) sbb:

Selambat-lambatnya kelak menjelang tutup tahun
Didampingi dewa delapan serta membawa perwira ratu
Akan ada dewa tampil
Berbadan manusia
Berparas seperti Bathara Kresna
Berwatak seperti Baladewa
Bersenjata trisula wedha

Pada bait 162 ramalan Jayabaya (hal 6 artikel) disebutkan :
Yang memimpin adalah putera Bathara Indra
Bersenjatakan trisula wedha
Para asuhannya menjadi perwira perang
Jika berperang tanpa pasukan
Sakti mandra guna tanpa azimat

Dalam artikelnya, Al Bughury menafsirkan ramalan Jayabaya tersebut dapat dianggap sebagai satu upaya dari Al Bughury untuk mempersatukan orang islam dan orang kristen bahwa sesungguhnya yang mereka tunggu-tunggu kedatangannya adalah satu sosok yang sama yaitu SATRIO PININGIT. Ummat islam menanti kedatangan/kemunculan Imam Mahdi untuk memimpin peperangan dan turunnya nabi Isa alaihissalam meluruskan aqidah ummatnya sedangkan ummat kristen menanti turunnya Yesus Kristus sang juru selamat untuk menyelamatkan ummatnya.

Menurut Al Bughury, dalam diri Satrio Piningit terdapat tiga laku dan peran yang sekaligus dia mainkan. Ketiga peran tersebut adalah sbb:

1. Bathara Indra
Dalam agama Hindu Dewa Indra adalah dewa cuaca dan raja kahyangan. Gelaran lain yang disandang oleh dewa Indra adalah dewa petir, dewa hujan, dewa perang, raja surga, dan pemimpin para dewa. Nama lain dewa Indra yang mengandung puji-pujian terhadapnya adalah: Sakra (yang berkuasa), Swarga pati (raja surga), Diwapati (raja para dewa), Meghawahana (yang mengendarai awan), wasawa (pemimpin para Wasu).

Dalam ramalan Jayabaya disebutkan:
Yang memimpin adalah putera Bathara Indra
Bersenjatakan trisula wedha

Ramalan tidak menyebut Bathara Indra atau dewa Indra akan tetapi “putera Bathara (dewa) Indra. Itu berarti sang putera tidak mewakili seluruh gelar atau kedudukan sang Bapak (Dewa Indra). Hanya satu karakter yang diwarisi oleh sang putera dari bapaknya yaitu sebagai DEWA PERANG. Oleh karena itu pada bait No 163 baris pertama disebutkan:

Apeparap pangeraning prang
BERGELAR PANGERAN PERANG

Ummat islam meyakini menjelang akhir zaman Imam Mahdi akan muncul memimpin peperangan. Imam Mahdi akan memerangi seluruh musuh-musuh islam, Al Bughury menafsirkan bahwa yang dimaksud “putera Bathara Indra” dalam ramalan Jayabaya sesungguhnya adalah IMAM MAHDI. Peperangan yang dipimpin oleh Imam Mahdi (putera Bathera Indra) adalah perang di dunia gaib. Perang itu sangat lazim dilakukan oleh para dewa.

Dalam kitab weda dinyatakan bahwa para Dewa juga tidak dapat menganugerahkan sesuatu tanpa kehendak Tuhan. Para Dewa, sama seperti makhluk hidup yang lainnya, bergantung kepada kehendak Tuhan. Para Dewa hanyalah perantara Tuhan. Tuhan Yang Maha Esa melalui perantara Sri Kresna bersabda:

Setelah diberi kepercayaan tersebut,
Mereka berusaha menyembah Dewa tertentu
Dan memperoleh apa yang diinginkannya.
Namun sesungguhnya hanya Aku sendiri
Yang menganugerahkan berkat-berkat tersebut.
(Kitab suci Baghawad Gita 7.22)

Ummat islam tidak perlu membantu Imam Mahdi atau ummat hindu tidak perlu juga membantu Putera Bathara (Dewa) Indra dalam berperang oleh karena perang yang dimaksud adalah perang gaib (bukan di dunia nyata).
Ramalan menyebutkan: jika berperang tanpa pasukan, sakti mandraguna tanpa azimat. Al Bughury menafsirkannya sebagai perang di dunia gaib.

Bahwa dalam ramalan Jayabaya terdapat kalimat “para asuhannya menjadi perwira perang” tidak perlu terlalu kita permasalahkan karena dalam mitologi hindu Sang Bapak (Dewa Indra) memang memiliki pasukan. Beliau memimpin delapan Wasu yaitu delapan dewa yang menguasai aspek-aspek alam. Boleh jadi kedelapan Wasu ini jugalah yang membantu Sang Putera (Imam Mahdi) atas perintah Sang Bapak (Dewa Indra) memimpin peperangan dan kedelapan Wasu ini disebut dalam ramalan sebagai “perwira perang”.

2. Bathara (Dewa) Kresna
Dewa Kresna adalah salah satu dewa yang dipuja oleh ummat hindu, berwujud pria berkulit gelap atau biru tua. Secara umum Dewa Kresna dipuja sebagai awatara (inkarnasi) Dewa Wisnu kedelapan di antara sepuluh awatara Wisnu. Kesepuluh awatara Wisnu disebut Dasa Awatara (Maha Avatar) yaitu: Matsya (sang ikan), Kurma (sang kura-kura), Varaha (sang babi hutan), Narasingha (sang manusia singa), Vamana (Rama bersenjatakan beliung/sang orang cebol), Parasurama (Sang Brahmana-Kshatriya), Rama (Sang pangeran), Kresna (sang penggembala), Buddha (sang pemuka agama), Kalki (sang penghancur).

Di antara sepuluh awatara tersebut, sembilan di antaranya diyakini oleh ummat hindu sudah menjelma dan pernah turun ke dunia sedangkan awatara terakhir atau Kalki masih menunggu hari lahirnya dan diyakini menjelma pada penghujung zaman Kali Yuga. Seluruh ramalan Jayabaya mengacu kepada kemunculan Kalki. Kalki atau inkarnasi Dewa Wisnu yang kesepuluh adalah YANG MULIA SATRIO PININGIT.
Dalam ramalan Jayabaya disebutkan:

Selambat-lambatnya kelak menjelang tutup tahun
Didampingi dewa delapan serta membawa perwiranya ratu
Akan ada dewa tampil
Berbadan manusia
Berparas seperti Bathara Kresna
Berwatak seperti Baladewa
Bersenjata trisula wedha

Secara implisit kita dapat menerjemahkan makna ramalan di atas dalam versi agama hindu bahwa “dewa yang akan tampil berbadan manusia” adalah DEWA KALKI (Satrio Piningit). Dewa Kalki didampingi oleh “dewa delapan”. Dewa delapan adalah delapan wasu, yaitu delapan dewa yang menguasai aspek-aspek dalam semesta. Dewa delapan ini juga yang mendampingi putera Bathara Indra memimpin perang.
Dalam ramalan disebutkan:
Dewa Kalki (satrio piningit) memiliki paras seperti Dewa (Bathara) Kresna. Penyebutan Dewa Kresna untuk mempertegas bahwa Dewa Kalki dan Dewa Kresna sama-sama inkarnasi Dewa Wisnu.

Guru Agung Al Bughury menafsirkan “berparas seperti Bathara Kresna” adalah peran Satrio Piningit sebagai Yesus Kristus. Al Bughury beralasan terdapatnya kata-kata “selambat-lambatnya kelak menjelang tutup tahun” yang ditafsirkan sebagai hari natal atau peringatan hari kelahiran Yesus Kristus.

Cakra Ningrat MEMBENARKAN penafsiran Al Bughury oleh karena Dewa Kresna dan Yesus Kristus sama-sama dijuluki sebagai SANG PENGGEMBALA dan sama-sama mendapat julukan “JURU SELAMAT UMAT MANUSIA”.

Dewa Kresna digambarkan sebagai sosok penggembala muda yang mahir bermain seruling. Ia juga dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana, sakti, dan berwibawa. Ia dikenal pula sebagai tokoh yang memberikan ajaran-ajaran filosofis dan kerohanian. Dewa Kresna disebut dengan berbagai nama sesuai karakteristiknya diantaranya Acyuta (yang kekal, teguh), Arisudana (penghancur musuh), Bagawan (Yang Maha Kuasa), Gopala (pelindung sapi), Gowinda (penggembala sapi), Hresikesa (penguasa indria), JANARDANA (juru selamat ummat manusia), Maha-yogi (rohaniawan agung); Purusottama (manusia utama yang berkepribadian paling baik), Yogeswara (penguasa segala kekuatan batin).

Dalam penggambaran umum Dewa Kresna seringkali menampilkan dirinya sebagai anak kecil, atau seorang lelaki dalam gaya santai, sedang memainkan seruling. Dalam wujud ini, ia biasanya ditampilkan dengan kaki yang ditekuk ke samping. Kadangkala ditemani sapi untuk menegaskan posisinya sebagai penggembala ilahi (Govinda). Dalam keyakinan agama hindu, sapi dianggap suci karena melambangkan ibu pertiwi.

Setiap menjelang tutup tahun, ummat kristiani merayakan natal dan selalu menampilkan Yesus Kristus dalam gambaran sebagai anak kecil.

3. Baladewa
Dalam ramalan Jayabaya disebutkan “berwatak seperti Baladewa”. Guru Agung Al Bughury menafsirkan watak Yesus Krsitus atau nabi Isa alaihissalam wataknya adalah lahir dari rahim perawan suci bernama Maria (Maryam). Perempuan ini tidak pernah disentuh (berhubungan seksual) dengan laki-laki. Meski lahir tanpa ayah akan tetapi Yesus Kristus (nabi Isa) tidak bisa dikatakan sebagai anak Allah.
Menurut kitab “Bhagawatapurana” Kresna lahir tanpa hubungan seksual, melainkan melalui “transmisi mental” dari pikiran Basudewa ke rahim Dewaki. Kresna dibesarkan oleh Nanda dan Yasoda, anggota komunitas penggembala sapi yang ada di Vrindavana.
Dalam kitab “Bhagawadgita” Kresna menguraikan ajaran iswara (ketuhanan), jiwa, dharma (kewajiban), prakerti (alam semesta) dan kala (waktu). Kresna juga menjelaskan bahwa tujuannya berada di dunia adalah untuk menyelamatkan orang saleh dan membinasakan orang jahat. Kutipan yang terkenal adalah:
“Kapanpun dan dimanapun kebajikan merosot dan kejahatan merajalela, pada saat itulah aku menjelma, wahai keturunan Bharata (Arjuna). Untuk menyelamatkan orang saleh dan menghukum orang jahat, serta menegakkan kebenaran, aku lahir dari zaman ke zaman. (Baghawadgita 4: 7-8).

Dikutip bebas dari artikel “Satrio Piningit Telah Muncul” hal.19 point 4 penulisnya (tidak diketahui) sebagai berikut:

“Satrio pinigit berwujud seperti manusia sebagaimana manusia pada umumnya. Bedanya adalah karena Satrio Piningit anak Dewa. Disebut anak Dewa karena dia adalah anak atau titisan nabi Hidir. Nabi yang terkenal memiliki ilmu yang paling tinggi dan tetap misteri hingga saat ini. Satrio Piningit memiliki dua ibu kandung. Yang pertama, ibu Rukmini (orang Jawa) adalah ibu yang melahirkan jasad raganya. Kedua; Ibu Pertiwi (negara Indonesia) adalah ibu yang melahirkannya sebagai penguasa jagad raya.”

Dalam agama hindu, nama Rukmini dikenal sebagai istri dari Dewa Kresna. Rukmini adalah inkarnasi dari Dewi Laksmi. Dewi Laksmi adalah istri Dewa Wisnu. Dewi Laksmi adalah Dewi kekayaan, kesuburan, kemakmuran, keberuntungan, kecantikan, keadilan, dan kebijaksanaan. Dalam kitab purana. Dewi Laksmi adalah ibu dari alam semesta. Mungkin Dewi Laksmi inilah yang dimaksudkan dalam artikel SPTM sebagai Ibu Pertiwi. Dewi Laksmi disebut juga Dewi Uang. Ia juga disebut “widya” yang berarti pengetahuan keagamaan. Ia juga dihubungkan dengan setiap kebahagiaan yang terjadi di antara keluarga dan sahabat, perkawinan, anak-anak, kekayaan dan kesehatan. Dewi Laksmi sangat terkenal di kalangan ummat hindu.
Dalam ramalan Jayabaya disebutkan: berwatak seperti Baladewa. Dalam keyakinan agama hindu kata “Baladewa” tidak dikenal. Cakra ningrat berpendapat secara etimologi kata “Baladewa” dapat diartikan sebagai satu rangkuman atau satu kesatuan seluruh dewa-dewa. Mengambil contoh pada sebutan “Balatentara” yang diartikan sebagai tentara yang sangat banyak jumlah tanpa memerinci lagi nama-nama kesatuannya. Dengan demikian “berwatak seperti Baladewa” dapat diartikan bahwa di dalam sosok Satrio Piningit terdapat seluruh watak-watak dan kesaktian-kesaktian yang dimiliki oleh dewa-dewa yang dikenal oleh ummat hindu.

TRISULA WEDHA
Guru Agung Al Bughury menafsirkan “Trisula Wedha” dalam konteks laku dan peran Satrio Piningit (Dewa Kalki) sebagai Imam Mahdi, Yesus Kristus dan Nabi Isa. Al Bughury menegaskan bahwa sesungguhnya yang ditunggu-tunggu oleh ummat islam dan ummat kristen pada hakekatnya adalah satu yaitu Satrio Piningit.

Dalam menjalankan tugas-tugasnya Satrio Pinigit senantiasa berpedoman pada TRISULA. Trisula diartikan sebagai prinsip-prinsip yang tidak akan dilanggar oleh Satrio Piningit yaitu: tidak akan merugikan orang lain, tidak akan mencuri, dan tidak akan berbuat kejahatan (dalam arti yang luas). Satrio Piningit diramalkan akan membantu masyarakat Jawa (ummat manusia) untuk berpedoman pada “trisula nan suci” yaitu mengaplikasikan perilaku “benar, lurus, jujur” dalam kehidupannya sehari-hari.

Cakra Ningrat sependapat dan MEMBENARKAN penafsiran Guru Agung Al Bughury terhadap ramalan Jayabaya. Dari penafsirannya itu, tergambar dengan sangat jelas akan kecerdasan beliau. Namun begitu Cakra Ningrat akan menyampaikan pendapat dalam konteks filosofi agama hindu agar kita semua dapat menarik benang merah bahwa sesungguhnya kita semua ini adalah satu dan yang kita tunggu-tunggu pada hakekatnya adalah sama.

FILOSOFI HINDU
Dalam kitab suci Reg Weda (Weda yang pertama) disebutkan adanya tiga puluh tiga Dewa, yang mana ketiga puluh tiga Dewa tersebut merupakan manifestasi dari kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan dalam teologi hindu disebut BRAHMAN.

Sebagai seorang muslim, Cakra Ningrat berpendapat: 33 nama-nama Dewa berikut kekuasaan dan tugas-tugasnya dapat dikatakan sama dengan nama/ sifat-sifat Allah dalam asmaul husna. Pendapat ini akan didukung oleh fakta-fakta hukum yang akan saya sampaikan di akhir tulisan. Jika fakta hukum yang saya kemukakan mengandung kebenaran universal maka tidak ada alasan bagi kita baik sebagai seorang muslim maupun sebagai seorang nasrani atau budhis untuk menolak kebenaran agama hindu.

Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, hipotesa saya tentang kebenaran agama hindu saya lanjutkan.

Dari tiga puluh tiga Dewa ada tiga di antaranya yang diklasifikasikan sebagai DEWA UTAMA yaitu: Dewa Brahma, Dewa Siwa dan Dewa Wisnu. Ketiganya adalah satu di dalam kesatuannya dan disebut TRIMURTI.

1. Dewa Brahma
Menurut ajaran hindu, Dewa Brahmana dipandang sebagai manifestasi Brahman (Tuhan Yang Maha Esa). Dalam mitologi hindu disebutkan Dewa Brahma lahir dari air. Di atas air Brahman (Tuhan YME) menaburkan benih yang menjadi telur emas. Dari telur emas itu lahirlah Dewa Brahma dengan sendirinya (tanpa ibu). Material telur emas lainnya menjadi Brahmanda atau telur alam semesta.

Menurut teosofi islam; nabi Hidir alaihissalam tercipta dengan sendirinya (tanpa ayah dan ibu) bersamaan dengan terciptanya air. Karena itu ummat islam mengenal nabi Hidir dengan sebutan sebagai nabinya air. Setelah nabi Hidir ada barulah Tuhan menciptakan alam semesta. Nabi Hidir adalah representasi Tuhan semesta alam. Nabi Hidir identik dengan Dewa Brahma. Nabi Hidir adalah saksi yang menyaksikan seluruh penciptaan Tuhan karena itu nabi Hidir (Dewa Brahma) disebut juga sebagai Dewa pencipta.

Legenda lain menyebutkan Dewa Brahma lahir dengan sendirinya (tanpa ibu) dari bunga teratai yang tumbuh pada saat penciptaan alam semesta. Menurut cerita kuno, pada saat penciptaan alam semesta Brahma menciptakan sepuluh prajapati yang konon menurut Manusmarti sepuluh prajapati tersebut adalah: Marichi, Atri, Anggirasa, Pulastya, Pulaha, Kratu, Wasistha, Praceta atau Daksa, Briegu, dan Narada. Dewa Brahma memiliki istri yang bernama Dewi Saraswati.

Hipotesa Cakra Ningrat dari sudut pandang teologi islam dan kristen bahwa Dewa Brahma sebagaimana legenda tersebut di atas dapat ditafsirkan sebagai Adam sedangkan istrinya Saraswati adalah Hawa. Adapun sepuluh orang prajapati dapat diartikan sebagai anak cucu keturunan Adam yang selamat di atas bahtera Nuh, setelah terjadinya banjir semesta.

Dalam artikel SPTM, Satrio Piningit menyebut dirinya sebagai titisan nabi Hidir. Hipotesa saya jika Satrio Piningit titisan nabi Hidir berarti SP dapat juga dikatakan sebagai titisan Dewa Brahma. Ramalan Jayabaya menyebutkan SP adalah Dewa berbadan manusia. Subhanallah….

Dewa Brahma memiliki ciri-ciri sesuai karakter yang dimilikinya. Ciri-ciri umum yang dimiliki oleh Dewa Brahma adalah:

  • Bermuka empat yang memandang keempat penjuru mata angin (catur muka) yang mana di masing masing wajah mengumandangkan salah satu dari empat weda.
  • Bertangan empat, masing-masing membawa:
          – Tongkat teratai, kadangkala sendok
          – Weda/ kitab suci
          – Busur
          – Genitri Aksamala
  • Menunggangi hamsa (angsa) atau duduk di atas teratai.

Brahma hidup selama seratus tahun kalpa. Satu tahun kalpa sama dengan 3.110.400.000.000 tahun masehi. Setelah seratus tahun kalpa, maka Dewa Siwa sebagai Dewa pelebur mengambil perannya untuk melebur alam semesta beserta isinya untuk dikembalikan ke asalnya. Setelah itu, Brahma sebagai pencipta tutup usia dan alam semesta bisa diciptakan kembali oleh kehendak Tuhan.

Dalam teosufi islam disebutkan Nabi Hidir tetap hidup sampai pada hari kiamat. Kata “kiamat” tidak dikenal dalam agama hindu. Makna yang sama dengan kiamat adalah melebur alam semesta beserta isinya untuk dikembalikan ke asalnya. Konsep ahirat dalam islam atau hidup abadi dalam kerajaan Tuhan sebagaimana yang dikenal dalam kristen tidak dikenal dalam ajaran hindu. Makna yang sama dengan ahirat adalah alam semesta diciptakan kembali oleh kehendak Tuhan. Tidak ada yang mengetahui kapan datangnya hari kiamat. Agama hindu menyebut seratus tahun kalpa dimana satu tahun kalpa sama dengan 3.110.400.000.000 (tiga trilyun seratus sepuluh milyard empat ratus juta) tahun masehi.

2. DEWA SIWA
Menurut ajaran hindu; Dewa Siwa adalah Dewa Pelebur. Tugas Dewa Siwa adalah melebur segala sesuatu yang sudah usang dan tidak layak berada di dunia fana lagi sehingga harus dikembalikan kepada asalnya.

Ummat hindu meyakini bahwa Dewa Siwa memiliki ciri-ciri yang sesuai dengan karakternya yaitu:

a. Berlengan empat, masing-masing membawa trisula, cemara, tasbih/genitri, kendi
b. Bermata tiga (tri netra)
c. Pada hiasan kepalanya terdapat ardha chandra (bulan sabit)
d. Ikat pinggang dari kulit harimau
e. Hiasan di leher dari ular cobra
f. Kendaraannya lembu Nandini.

Hipotesa Cakra Ningrat tentang Karakter Dewa Siwa
a. Dalam artikel SPTM disebutkan Satrio Piningit muncul dengan membawa senjata Trisula Wedha. Beliau menyebut Trisula Wedha adalah peran beliau sebagai Imam Mahdi, Yesus Kristus dan Nabi Isa Almasih. Dalam ramalan Jayabaya juga selalu menyebutkan kata “bersenjatakan Trisula Wedha” sementara Guru Agung Al Bughury dalam artikel Trisula Wedha menafsirkannya sebagai peran satrio piningit sebagai Imam Mahdi, Yesus Kristus, dan nabi Isa.

Trisula adalah senjata Dewa Wisnu untuk melebur segala sesuatu yang dianggap usang untuk dikembalikan kepada penciptanya yaitu Brahman (Tuhan YME) untuk diciptakan Tatanan Dunia Baru. Tatanan Dunia Baru adalah. Dunia baru. Dunia tanpa agama. Trisula nan sakti akan melebur semua agama-agama yang kita kenal saat ini. Itulah makna trisula pada lengan pertama.

Lengan kedua adalah cemara. Cemara merupakan simbol agama kristen. Ummat kristen menggunakan cemara sebagai pohon terang di setiap perayaan hari natal/ menjelang tutup tahun.
Lengan ketiga adalah Tasbih/ gemitri merupakan simbol agama islam dan agama budha. Sedangkan pada lengan keempat memegang kendi. Kendi adalah simbol agama hindu. Kendi berkaitan dengan air suci di sungai gangga atau mata air suci lainnya yang disakralkan ummat hindu.

Subhanallah…. Ternyata Satrio Piningit benar-benar telah muncul. Dia bersenjatakan “TRISULA WEDHA”. Dia akan melebur semua agama-agama yang ada di muka bumi. Ternyata dia juga adalah titisan Dewa Siwa. Dia ada di dalam kitab suci WEDA. Karena itu Jayabaya menyebutnya sebagai “dewa berbadan manusia, berparas seperti batara kresna, berwatak seperti Baladewa, bersenjatakan Trisula Weda. 

b. Bermata tiga (trinetra)
Apabila seluruh agama telah dilebur maka tidak ada lagi agama yang dijadikan pedoman hidup, baik dalam laku perbuatan sehari-hari maupun yang berkaitan dengan peribadatan dan pelaksanaan acara-acara ritual keagamaan. Satu-satunya pedoman hidup adalah trisula wedha yaitu benar-lurus dan jujur. Manusia tidak boleh melanggar apa yang menjadi pantangan dari trisula wedha. Ketiga pantangan trisula wedha adalah; tidak boleh merugikan orang lain, tidak boleh mencuri dan tidak boleh berbuat kejahatan

Dewa Wisnu yang bermata tiga (trinetra) akan mengawasi manusia secara ketat untuk melaksanakan pedoman hidup trisula wedha dan menjauhi apa yang menjadi pantangan trisula wedha. Setiap pelanggaran akan mendapat hukuman seketika. Nyawa melayang atau dipermalukan.

Menarik untuk kita cermati bersama terhadap apa yang saat ini sedang dan akan dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan kebijakan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Dari sekian banyak pejabat negara yang ditangkap, kita fokuskan perhatian kita kepada Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar dan Gubernur Banten Ratu Atut Chosyiah. Yakinlah ada pesan tersirat dibalik kejadian dipermalukannya kedua orang ini. Yang pasti mereka telah melanggar ketiga pantangan trisula wedha yaitu: merugikan orang lain, mencuri, dan berbuat kejahatan.

Jaman ini adalah jaman yang susah bagi orang jahat sebaliknya jaman ini adalah jaman yang menyenangkan bagi orang yang baik. Orang baik adalah orang yang menjalani hidupnya dengan berpedoman pada trisula wedha nan suci yaitu: benar, lurus, dan jujur.

c. Ardha Chandra (bulan sabit)
Agama islam, hindu, budha, kong hu chu menjadikan bulan sabit sebagai dasar perhitungan untuk melaksanakan ritual keagamaan. Oleh karena agama sudah tidak ada lagi (dilebur) maka hitungan bulan sabit sudah dihapuskan.

d. Ikat pinggang dari kulit harimau
Di bawah pinggang terletak alat kelamin manusia. Disitulah nafsu manusia berpusat. Ikat pinggang dari kulit harimau adalah simbol berakhirnya kekuasaan nafsu yang selama ini menguasai dan mengendalikan manusia.

e. Hiasan di leher dari ular kobra
Simbol untuk menjaga manusia agar tidak memakan apa yang bukan menjadi haknya.

f. Kendaraannya lembu Mandini.
Lembu Mandini adalah simbol yang berkaitan dengan penghormatan dan pemujaan manusia kepada Satrio Piningit.

Dari uraian di atas maka Cakra Ningrat berpendapat bahwa Satrio Piningit adalah titisan Dewa Brahma (nabi Hidir alaihissalam) mewarisi seluruh ilmu dan kesaktian Dewa Brahma, selalu bersama-sama Dewa Siwa (Dewa Pelebur) atau bisa saja Dewa Siwa menjadi satu kesatuan dengan dirinya. Untuk hal ini tentu beliau sendiri yang lebih tau.

3. Dewa Wisnu
Dalam agama hindu, Dewa Wisnu disebut juga Sri Wisnu atau Narayana adalah Dewa yang bergelar sebagai Shtiti (pemelihara) yang bertugas memelihara dan melindungi segala ciptaan Brahman (Tuhan YME). Dewa Wisnu dipandang sebagai Roh Suci sekaligus dewa yang tertinggi. Dewa Wisnu dipandang sebagai salah satu menifestasi Brahman dan enggan untuk dipuja sebagai Tuhan tersendiri yang menyaingi atau sederajat dengan Brahman.

Dalam teologi kristen, Dewa Wisnu dapat diartikan sebagai Roh Kusdus.

Dalam filsafat Waisnawa, Wisnu memiliki enam sifat ketuhanan:
1. Jnana = mengetahui segala sesuatu yang terjadi di alam semesta
2. Aishvarya = maha kuasa, tak ada yang dapat mengaturnya
3. Shakti = memiliki kekuatan untuk membuat yang tak mungkin menjadi mungkin.
4. Bala = maha kuat, mampu menopang segalanya tanpa merasa lelah
5. Virya = kekuatan rohani sebagai roh suci dalam semua mahkluk
6. Tejas = memberi cahaya spiritualnya kepada semua makhluk

Untuk memudahkan penghayatan terhadapnya maka simbol-simbol dan atribut tertentu dipilih sesuai dengan karakternya dan diwujudkan dalam bentuk lukisan, pahatan dan arca.
Dewa Wisnu digambarkan sbb:
a. Seorang pria yang berlengan empat. Berlengan empat melambangkan segala kekuatannya untuk mengisi seluruh alam semesta.
b. Kulitnya berwarna biru gelap atau seperti warna langit. Warna biru melambangkan kekuatan yang tiada batas, seperti warna biru pada langit abadi atau lautan abadi tanpa batas.
c. Di dalamnya terdapat simbol kaki Resi Brigu
d. Juga terdapat simbol srivatsa di dalamnya, simbol Dewi Laksmi pasangannya.
e. Pada lehernya terdapat permata Kaustubha dan kalung dari rangkaian bunga
f. Memakai mahkota melambangkan kuasa sang pemimpin
g. Memakai sepasang giwang melambangkan dua hal yang selalu bertentangan dalam penciptaan seperti ada siang dan ada malam, ada kesedihan ada kebahagiaan, dsb.
h. Beristirahat dengan ranjang Ananta Sesa, ular suci.

Dalam teologi Kristen Ananta sesa (ular suci) dapat diartikan sebagai ular yang membujuk Hawa sehingga Hawa memakan buah dari pohon kehidupan yang menyebabkan Adam dan Hawa terusir dari surga.
Wisnu sering dilukiskan memegang empat benda yang selalu melekat dengannya yaitu:
1. Terompet kulit kerang dipegang oleh tangan kiri atas sebagai simbol kreatifitas
2. Cakram, senjata berputar dengan gerigi tajam bernama “Sudharsana” dipegang oleh tangan kanan atas melambangkan pikiran (logika). Sudharsa berarti pandangan yang baik
3. Gada yang bernama Komodaki dipegang oleh tangan kiri bawah melambangkan keberadaan individual
4. Bunga lotus atau padma, simbol kebebasan. Padma melambangkan kekuatan yang memunculkan alam semesta.

Dalam purana, Dewa Wisnu menjelma sebagai Awatara yang turun ke dunia untuk menyelamatkan dunia dari kejahatan dan kehancuran. Awatara yang umum dikenal oleh ummat hindu berjumlah sepuluh yang disebut Dasa Awatara atau Maha Avatar. Diantara sepuluh Awatara tersebut, sembilan di antaranya diyakini ummat hindu sudah pernah turun ke dunia sedangkan awatara terahir yaitu KALKI diyakini menjelma di penghujung zaman Kali Yuga. Dalam ramalannya, Jayabaya menyebut Kalki sebagai Satrio Piningit.

UNIVERSALITAS HINDU

Agama hindu mengelompokkan masyarakat berdasarkan warna atau kasta yaitu: Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Kasta ini tidak didapatkan seseorang sejak lahirnya akan tetapi diupayakan secara terus-menerus berdasarkan pilihannya sendiri. Tegasnya: Kasta berkaitan langsung dengan profesi atau pekerjaan seseorang atau pilihan hidup. Kasta (warna) tersebut adalah:

1. Brahmana
Brahmana merupakan golongan pendeta dan rohaniawan dalam suatu masyarakat.
Bila anda seorang pendeta, pastor, bikku, ustadz, kiyai, ulama, dsb. maka anda disebut dengan golongan Brahmana. Untuk berada di golongan itu anda harus berusaha serius dan tekun mempelajari ajaran-ajaran agama yang anda anut. Bila anda berkhotbah entah yang anda katakan benar atau salah, maka ummat anda terdiam menyimak perkataan-perkataan anda. Ajaran hindu menempatkan golongan Brahmana sebagai golongan tertinggi. Anak-anak dan keturunan anda tidak akan ditempatkan dalam golongan Brahmana bilamana anak itu tidak memilih profesi pekerjaan sebagaimana yang anda lakukan.

Presiden SBY akan duduk dilantai bila ustadz sudah menyampaikan khotbahnya. Presiden Obama akan duduk terpaku bila pendeta sudah membacakan khotbahnya. Raja Arab Saudi akan duduk bersila bila ulama sudah naik di mimbar membacakan khotbahnya. Kenyataan ini berlaku dimanapun dan oleh siapa pun. Ini adalah sebuah fakta hukum bahwa kita semua MEMBENARKAN dan MELAKSANAKAN prinsip-prinsip dasar dari ajaran hindu. Entah kita menyadarinya atau tidak!

2. Ksatriya
Ksatriya merupakan golongan para bangsawan atau negarawan yang menekuni bidang pemerintahan atau administrasi negara.
Bila anda seorang presiden, gubernur, bupati, walikota, camat, lurah, politisi, tentara, polisi, jaksa, hakim tegasnya seluruh profesi atau pekerjaan yang anda geluti atau tekuni dan anda digaji dan diberi fasilitas oleh negara maka anda berada di golongan ksatriya. Anda tidak ditempatkan di golongan itu sejak anda lahir, akan tetapi ada upaya serius yang anda lakukan sejak kecil sampai anda bisa berada di golongan itu. Kewajiban golongan ksatriya adalah melindungi golongan Brahmana, Waisya dan Sudra.

3. Waisya
Waisya merupakan golongan para pedagang, petani, nelayan, dan profesi lainnya yang termasuk bidang perniagaan atau segala sesuatu yang bersifat meterial dalam arti seluas-luasnya. Kewajiban mereka memenuhi kebutuhan golongan Brahmana, Ksatriya, dan Sudra. Golongan Waisya akan mendapatkan haknya berupa keuntungan materi dsb.

4. Sudra
Sudra merupakan golongan para pelayan, pekerja, buruh, dsb yang membantu Brahmana, Ksatriya, dan Waisya agar pekerjaan mereka dapat terpenuhi. Tanpa adanya golongan Sudra, maka kewajiban ketiga kasta tidak akan dapat terwujud.

Pengelompokan masyarakat dalam sistem Caturwana (Brahmana, Ksatriya, Waisya, dan Sudra) berlaku universal dimanapun dengan sistem tata negara apapun. Sadar atau tidak, kita semua telah melaksanakan prinsip-prinsip ajaran hindu yang mengandung nilai-nilai kebenaran universal. Inilah ajaran para Dewa. Ajaran yang mengandung kebenaran. Tiada kebenaran selain kebenaran itu sendiri.

TINJAUAN FILOSOFIS SATRIO PININGIT
Tidak diketahui secara pasti sejak kapan Jayabaya menyampaikan ramalannya. Banyak pendapat yang menyebutkan sekitar abad 18. Jika pendapat itu benar maka agama budha, islam, dan kristen sudah ada di Jawa (nusantara) menyingkirkan dominasi agama hindu.

Pertanyaan Putra adalah mengapa ramalan Jayabaya justru bersentuhan langsung dengan ajaran hindu seperti dengan adanya penyebutan Trisula, Weda, Dewa Indra, dan Dewa Krisna. Bukankah di masa Jayabaya hidup agama budha, islam dan kristen sudah ada di nusantara ini ?.

Raden Ngabehi Ronggowarsito menafsirkan semua presiden yang pernah memimpin Republik Indonesia adalah Satrio Piningit termasuk calon presiden Indonesia yang ke 7 nanti. Cakra Ningrat membenarkan apa yang ditafsirkan oleh Ronggowarsito dengan pemikiran bahwa siapa pun presiden yang belum dipilih oleh rakyat dianggap masih piningit (bersembunyi). Satrio (bahasa Jawa) yang artinya Ksatriya adalah warna (kasta) yang merupakan pilihan hidup seseorang yang menekuni pekerjaan di bidang pemerintahan, Gubernur, bupati, walikota, mentri yang belum terpilih atau dipilih untuk menduduki suatu jabatan tertentu di bidang pemerintahan dapat dikatakan sebagai Ksatriya yang masih bersembunyi atau Satrio Piningit. Termasuk camat, lurah, kepala desa sepanjang belum menduduki jabatan itu dapat dikategorikan atau memenuhi unsur untuk disebut sebagai Satrio Piningit.

Cakra Ningrat berpendapat bahwa SATRIO PININGIT yang dimaksud dalam ramalan Jayabaya adalah seorang DEWA YANG BERBADAN MANUSIA Dikatakan berbadan manusia karena di masa lalu Dewa hanya berada di atas kayangan sehingga manusia menganggap mereka sebagai mitos. Dasar filosofinya adalah sbb:

1. Dewa yang mengelompokkan manusia dalam Caturwarna (Brahmana, Ksatriya, Waisya, dan Sudra) maka Dewa pula yang harus merubahnya.

2. Dewa berbadan (berwujud) manusia yang akan muncul nanti adalah DEWA KALKI. Dewa Kalki bukan Dewa yang pertama berbadan manusia. Dewa yang pertama kali berbadan manusia adalah Dewa Kresna. Dewa Kalki adalah penggenapan Dewa Kresna. Dewa ini adalah penjelmaan (inkarnasi) kesepuluh (penggenapan) Dewa Wisnu. Parasnya seperti Dewa Kresna. Dewa Kresna adalah penjelmaan kedelapan Dewa Wisnu. Julukan yang melekat pada diri Dewa Kalki adalah SANG PENGHANCUR. Kalki akan menghancurkan apa saja antara lain:
– Menghancurkan keyakinan manusia terhadap agama yang dianutnya
– Menghancurkan peradaban manusia
– Menghancurkan apa saja yang didewakan atau dipuja manusia
– Menghancurkan catur warna (kasta-kasta)
– Menghancurkan dunia beserta seluruh isinya
Tipikal Kalki sangat menakutkan bagi yang mencoba menghalanginya akan tetapi menggembirakan bagi yang mengikuti kehendaknya.

3. Dewa berbadan (berwujud) manusia memiliki watak seperti Baladewa. Baladewa dapat diartikan dengan seluruh Dewa-dewa yang diyakini oleh manusia baik oleh mereka yang beragama hindu, budha, kong hu chu, Shinto, maupun agama-agama kuno lainnya. Watak-watak seluruh Dewa tersebut terangkum dan terakumulasi menjadi satu di dalam diri Dewa berbadan manusia. Dewa ini menguasai seluruh ajaran (ilmu) dan mengerti garis hidup setiap ummat.

4. Dewa berbadan manusia bersenjatakan Trisula Weda. Trisula adalah senjata Dewa Siwa (Dewa pelebur) yang digunakan untuk melebur segala sesuatu yang usang. Weda adalah kitab suci agama hindu. Trisula Weda dapat diartikan: dengan seluruh kekuatan Baladewa sebagaimana yang terdapat dalam kitab suci Weda, akan digunakan Dewa berbadan manusia untuk melebur semua agama-agmama yang ada di muka bumi ini dan menghapus golongan Brahmana. Bila golongan Brahmanna telah terhapus maka hanya tersisa tiga golongan (Triwarna) yaitu Ksatriya, Waisya, dan Sudra. Dewa berbadan manusia akan memimpin pemerintahan atau memerintah, dan menempati posisi Ksatriya. Dalam bahasa Jawa Ksatriya disebut SATRIO. Selama Dewa berbadan manusia belum dilihat, belum diketahui, belum disaksikan oleh manusia dalam memimpin maka Dewa tersebut dianggap masih bersembunyi yang dalam bahasa Jawa disebut PININGIT (memingit diri) meskipun pada hakekatnya Dewa tersebut sudah dilihat dan sudah diketahui oleh sebagian orang. Selama Dewa belum memimpin ummat manusia maka selama itu pula masih disebut SATRIO PININGIT.

5. Untuk mencapai tujuannya; Dewa berbadan manusia harus berperang melawan Asura (iblis, jin dan syetan). Dalam peperangan Dewa bergelar pangeran perang karena Dewa adalah putra Dewa perang (Dewa Indra). Jika berperang tanpa pasukan Sakti Mandraguna tanpa azimat. Menyerang tanpa pasukan bila menang tidak menghina orang lain. Dewa berbadan manusia juga menyandang gelar sebagai IMAM MAHDI.

6. Dewa berbadan manusia memiliki hak dan otoritas untuk menghapus golongan Brahmana dan melebur agama-agama yang ada di muka bumi agar manusia sepakat di dalam SATU TUHAN. Dewa membawa enam sifat-sifat ketuhanan sebagaimana watak Dewa Wisnu. Karena Dewa membawa sifat-sifat ketuhanan maka Dewa juga disebut sebagai Yesus Kristus atau Isa Almasih.

7. Dewa berbadan manusia membawa kebajikan dan kasih karena itu dewa disebut juga dengan Buddha Metteyya.

8. Dewa berbadan manusia bukanlah seorang nabi akan tetapi dia memiliki kedudukan tertinggi dari yang paling tinggi. Dia adalah representasi Tuhan. Bayangan Nyata, Tuhan semesta alam. Dialah yang akan membawa manusia kepada Brahman, Tuhan Yang Maha Esa.

Demikianlah hipotesa dan tinjauan filosofis saya terhadap artikel TRISULA WEDHA. Harapan saya semoga membawa manfaat dan dapat mencerahkan kita semua. Marilah kita menantikan dia yang dinanti-nanti. Menunggu dia yang ditunggu-tunggu. Ternyata yang kita nanti dan kita tunggu kemunculannya adalah sama. Dia hanya satu. Dia hanya memiliki begitu banyak nama tapi dia tak bernama. Dia yang begitu banyak gelar tapi dia tak bergelar. Karena ketidaktahuan kitalah sehingga kita menyebut dia piningit (menyembunyikan diri atas memingit diri). Karena kesombongan kitalah sehingga kita mengacuhkannya.

Mungkin saja dia tidak seperti dengan apa yang kita katakan atau bisa saja dia tidak bersembunyi sebagaimana yang kita sebutkan. Memang kita semua salah dan hanya dia yang benar. Hanya dia yang suci dari kesalahan, dan kitalah yang jauh dari kebenaran.

LAKI-LAKI DARI TIMUR

Untuk mendukung kebenaran hipotesa ini dan dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip rasionalitas dan obyektivitasnya dianggap perlu mengangkat ramalan Nostrodamus sebagai bahan untuk kompharasi.

Michael Nostrodamus (1503-1566) seorang warga Perancis keturunan Yahudi, tokoh peramal dari Barat yang terkenal karena ramalan-ramalannya dianggap tepat dan akurat. Menurut ramalan beliau yang ditulis oleh V.S Hewitt dan Peter Lorie dalam buku The End of the Millenium, Prophecies: 1992 to 2001, beliau meramalkan pada tahun 2000, disebutkan secara lebih khusus mengenai munculnya seorang pemimpin yang bakal merubah dunia.

Menurut beliau (Nostrodamus):
1. Akan muncul A New World Religion
2. Dipimpin oleh seorang yang dikenali dengan panggilan The Man from the East
3. Dia muncul dari negeri yang terletak di pertemuan tiga buah laut
4. Kemunculannya menggemparkann Timur dan Barat
5. Ketika muncul dia memakai serban biru (The Blue Turban)
6. Dia merayakan hari kamis sebagai hari istimewa bagi dirinya

Cakra Ningrat memberi penafsiran terhadap ramalan Nostrodamus dengan uraian penjelasan sebagai berikut:

1. A New World Religion atau Agama Baru Dunia yang diramalkan akan muncul adalah satu agama baru yang akan menguasai dunia. Agama ini tidak pernah dikenal dan tidak pernah diperkirakan oleh ummat manusia di seluruh dunia. Agama itu adalah agama TRISULA WEDA. Agama ini hanya berisi tiga perintah dan tiga larangan.

Tiga perintah adalah manusia harus melakukan perbuatan yang benar, lurus, dan jujur.
Tiga larangan adalah manusia tidak boleh melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, tidak boleh mencuri, dan tidak boleh berbuat kejahatan.

2. The Man from the East atau LAKI-LAKI DARI TIMUR
Itulah julukan yang diberikan kepada pemimpin agama baru dunia. Laki-Laki Dari Timur adalah sebuah julukan yang memberi kesan gagah, berani, kuat, jantan, perkasa, sakti, dan tidak terkalahkan. Julukan ini memberi indikasi adanya peperangan yang telah dilalui oleh sang pemimpin dan peperangan itu telah dimenangkannya.

Satrio Piningit adalah seorang laki-laki. Dia bergelar Pangeran Perang. Jika berperang tanpa pasukan. Menyerang tanpa pasukan. Bila menang tak menghina orang lain. Dia seorang diri mengalahkan musuh-musuhnya. Perang yang dilakoninya adalah perang di dunia gaib. Tidak ada yang mengetahui perang itu kecuali dirinya sendiri.

Dunia gaib adalah dunia tanpa batas yang disebut KEGELAPAN. Siapapun yang berkuasa di dunia gaib maka kelak dia akan berkuasa di dunia nyata. Dunia nyata yang kita tempati sekarang ini adalah dunia yang dikuasai oleh dia yang memenangi pertempuran. Dialah Laki-Laki Dari Timur. Kata Timur dapat dimaknai sebagai tempat terbitnya matahari. Tempat terbitnya terang. Dunia Nyata.

Kelak bila tiba waktunya kita semua akan menyaksikan secara nyata laki-laki itu. Dia adalah Dewa berbadan manusia. Berparas seperti Dewa Kresna. Berwatak seperti Baladewa. Menguasai seluruh ajaran (ngelmu). Mengerti garis hidup setiap ummat. Bersenjatakan Trisula Wedha. Dialah Sang Ksatria. Dialah yang menghapus dan melebur seluruh agama-agama menjadi satu dan mendirikan tonggak sejarah baru peradaban dunia dengan agama baru dunia, yaitu: “TRISULA”.

Nostrodamus meramalkan Laki-Laki Dari Timur muncul tahun 2000. Jayabaya menyebut “selambat-lambatnya menjelang tutup tahun”. Mungkin yang dimaksud Jayabaya adalah menjelang tutup tahun abad XX atau tahun 2000 kemudian dunia Internasional memasuki abad Millenium Baru. Dengan mengamati fenomena alam yang tidak menentu dan kejadian-kejadian lainnya sejak tahun 2000 baik di Indonesia maupun di seluruh belahan dunia. Sepatutnya kita mawas diri dan waspada terhadap kebenaran dua ramalan suci ini. Janganlah jadikan ketidaktahuan kita atau kebodohan kita untuk menguji tentang sebuah kebenaran. Tiada kebenaran selain kebenaran itu sendiri.

3. Pemimpin agama baru dunia yang memakai julukan LAKI-LAKI DARI TIMUR akan muncul dari negeri yang terletak di pertemuan tiga buah laut. Ramalan nostrodamus sangat relevan dengan ramalan Jayabaya, saling mendukung dan saling melengkapi untuk sempurnanya sebuah rencana besar Tuhan. Pertanyaannya dimanakah Satrio Piningit bersembunyi mengingat betapa luasnya Indonesia ini. Nostrodamus mengatakan pemimpin itu akan muncul dari negeri atau wilayah yang terletak di pertemuan tiga buah laut. Satu-satunya negeri atau wilayah yang berada di pertemuan tiga laut adalah SULAWESI (lihat peta).



Di sebelah utara pulau Sulawesi adalah Laut Sulawesi, di sebelah selatannya adalah Laut Flores dan di sebelah timurnya adalah Laut Maluku. Ternyata laki-laki dari Timur itu berada di Indonesia Bagian Timur, tepatnya di Sulawesi. Disitulah dia menyembunyikan dirinya sambil menanti waktu terbitnya terang.

4. Dalam kitab suci Alqur’an sangat banyak ayat-ayatnya yang menyebut timur dan barat. Tidak satupun ayat yang menyebut utara dan selatan. Dunia yang kita tempati sekarang berikut peradabannya hanya terbagi dua yakni timur dan barat. Utara dan Selatan adalah daerah kutub yaitu sebuah kawasan yang tidak dihuni oleh manusia.

Kemunculan pemimpin “agama baru dunia” akan menggemparkan Timur dan Barat maksudnya bukan hanya negeri indonesia akan tetapi dia akan menggemparkan dunia beserta seluruh isinya.

5. Ketika muncul dia memakai serban biru (The Blue Turban). Serban adalah selembar kain yang lazim digunakan oleh ummat islam. Serban biasa digunakan oleh orang-orang arab sejak masa pra islam untuk mengatasi hawa dingin atau teriknya panas matahari.

Kebanyakan ummat islam beranggapan bahwa pemimpin yang akan muncul nanti adalah pemimpin islam yang bernama Imam Mahdi. Sebab salah satu ciri Imam Mahdi adalah mengenakan serban. Ciri lainnya adalah menunggang kuda putih.

Tentu saja pendapat ummat islam sangat keliru kalau tidak ingin dikatakan salah. Dalam menafsirkan sebuah ramalan suci hendaknya kita menganalisi kata demi kata. Nostrodamus menyebut “serban biru” (The Blue Turban). “Serban biru” terdiri atas dua kata yang masing-masing memiliki arti tersendiri.

Cakra Ningrat berpendapat “serban biru” adalah kalimat simbolik. Serban adalah penutup kepala. Kepala adalah bagian terpenting dan vital pada tubuh manusia. Akal, fikiran dan logika manusia terletak di kepala sebagai pusat kendali perintah pada tubuh manusia. Warnah biru adalah warnah “dewa” yang melambangkan warna langit tanpa batas dan lautan abadi.

Dengan demikian “serban biru” (the blue Turban) memiliki arti “kekuasaannya yang luas tanpa batas dan bersifat abadi. Hal ini dapat dimaknai bahwa pemimpin yang akan muncul nanti adalah pemimpin yang tidak terbatas hanya di dunia saja tapi juga di akhirat. Dia adalah pemimpin yang abadi dan tak tergantikan. Kekuasaannya tidak hanya di dunia ini akan tetapi juga di akhirat. Pemimpin yang akan muncul ini adalah MESIAS atau AL MASIH.

6. Dia merayakan hari kamis sebagai hari istimewa bagi dirinya. Dia tidak mau menjadikan hari jum’at sebagai hari istimewa oleh karena hari jum’at adalah hari istimewa bagi agama islam. Dia juga tidak mau hari sabtu oleh karena hari sabtu sudah diistimewakan agama Yahudi. Demikian pula hari minggu, dia juga enggan mengistimewakannya oleh karena telah diistimewakan oleh agama nasrani. Karena itu dia menjadikan hari kamis sebagai hari istimewa bagi agama baru dunia “TRISULA”.

Boleh jadi dan mungkin saja hari “penghakiman” akan bertepatan dengan hari kamis. Di hari yang dia istimewakan itu dia akan menghakimi kita. Dia akan memutuskan apakah kita orang baik atau orang jahat. Apakah kita melaksanakan perintah Trisula atau mengerjakan larangan Trisula.

Dialah Dewa berbadan manusia yang dinanti ummat hindu
Dialah Buddha Metteyya yang dinanti ummat buddha
Dialah Mesias yang dinanti ummat kristen
Dialah Almasih yang dinanti ummat islam
Dialah yang memiliki banyak nama tapi tak bernama
Dialah yang memiliki banyak gelar tapi tak bergelar
Dialah yang selalu diingat tapi dilupakan 
Dialah yang selalu dilupakan tapi terekam dalam ingatan
Dialah yang dipuja tapi dihina
Dialah yang dihina tapi dipuja-puja

Tiada yang mengetahui dia kecuali dirinya sendiri
Tiada yang sampai pada Tuhan kecuali hanya sampai pada dirinya

Dia bukan Tuhan tapi pembawa sifat Tuhan
Dia bukan Tuhan tapi pembawa cahaya Tuhan
Dia bukan Tuhan tapi pembawa kebenaran Tuhan

Dikatakan dia ada namun tiada
Dikatakan tiada namun bisa jadi dia sudah ada di sekitar kita



Kita menantikan kemunculan dia
Namun dia menanti keputusan Tuhan-nya






==========================================================

Sumber : https://satriopiningitmuncul.wordpress.com/filosofi-hindu/

Rabu, 10 Juni 2015

SABDO PALON dan NAYA GENGGONG (Menurut DEDDY ENDARTO)


Telah banyak bersliweran kabar, informasi, cerita legenda dan hikayat tentang keberadaan abdi dalem Kraton MAJAPAHIT (WILWATIKTA) yang bernama SABDO PALON dan NAYA GENGGONG. Dari yang bersifat sangat halus hingga yang berisi SUMPAH SERAPAH yang bersangkutan di era runtuhnya MAJAPAHIT. Belum lagi terbitnya saduran buku-buku baik berupa ajaran atau ramalan yang mengatas namakan dua abdi ini, tetapi semuanya tidak dapat menunjukkan rujukan asli dari sumber ceritanya.

Mengingat seringnya timbul pertanyaan mengenai hal ini di group dan forum WILWATIKTA (MAJAPAHIT), maka saya berinisiatif untuk menjelaskannya secara tertulis seperti ini agar bila pertanyaan yang sama muncul, rekan-rekan dapat mereferensi jawabannya dari catatan ini. Hal ini didasarkan pada pengalaman pribadi saya, baik ketika menerima ajaran adat maupun ketika saya berkunjung ke beberapa lokasi peninggalan WILWATIKTA / MAJAPAHIT (di Jawa Timur dan Jawa Tengah).

Sesungguhnya penokohan abdi dalem yang bernama SABDO PALON dan NOYO GENGGONG itu adalah nyata dan ada (bukan bersifat ghaib atau klenik). Akan tetapi masyarakat luas telah tercuci otaknya dengan pola berpikir mistis telah menganggap tokoh ini adalah sejenis mahluk ghaib berjenjang dewata dan mempunyai umur yang abadi. Dan semuanya bertolak belakang dengan penjelasan apa yang saya terima selama ini, hal itu tidak lepas dari kebiasaan saya untuk mendebat (dalam batasan santun) kepada petunjuk leluhur yang saya anggap tidak bisa saya pahami lewat akal pikiran maupun hati nurani. Sehingga para leluhur yang memberi petunjuk berkenan menjelaskan secara lebih terinci guna memberi pemahaman akal dan nurani saya.


SABDO PALON dan NOYO GENGGONG belum dikenal dimasa pemerintahan raja pertama SANGRAMA WIJAYA yang berabhiseka SRI KERTARAJASA JAYAWARDHANA maupun raja kedua DYAH JAYANEGARA yang berabhiseka SRI SUNDARAPANDYADEWA ADHISWARA, di masa itu abdi dalem yang melekat pada keluarga raja adalah Sang SAPU ANGIN dan Sang SAPU JAGAD. Dalam konteks ini nama sesungguhnya dari abdi raja tersebut bukanlah itu, gelar tersebut lebih dekat pada sifat perilaku sang abdi. SAPU JAGAD berkonotasi SAPU = yang membersihkan / yang mengatasi dan JAGAD = masalah-masalah yang bersifat keduniawian, jadi Sang SAPU JAGAD adalah seorang abdi yang piawai dalam ilmu keduniawian dan kanuragan. Sedangkan SAPU ANGIN berkonotasi SAPU = yang membersihkan / yang mengatasi dan ANGIN = masalah-masalah yang bersifat spiritual / kebathinan, jadi Sang SAPU ANGIN adalah seorang abdi yang piawai dalam hal keagamaan dan spiritual / kebathinan. Begitu abdi ini menduduki jabatan tersebut, maka nama pribadinya akan ditinggalkan dan memakai gelar barunya sebagai SANG SAPU ANGIN dan SANG SAPU JAGAD. Hal ini dapat anda buktikan bila mengunjungi SITIHINGGIL MAJAPAHIT, di belakang posisi raja (SRI KERTARAJASA JAYAWARDHANA dan istri-istrinya) ada bangunan makam SANG SAPU ANGIN dan SANG SAPU JAGAD. Demikian pula lokasi Candi BAJANG RATU tempat abu jenazah SRI SUNDARAPANDYADEWA ADHISWARA (DYAH JAYANEGARA) di kompleks candi juga di temui model makam sejenis.

SABDO PALON dan NOYO GENGGONG secara eksplisit baru dikenal pada era pemerintahan raja ke-3 : Prabhu Stri / Rani DYAH TRIBHUWANA WIJAYATUNGGADEWI MAHARAJASA yang berabhiseka SRI TRIBHUWANATUNGGADEWI MAHARAJASA JAYAWISNUWARDHANI. Hal ini atas masukan dari Maha Rsi MAUDARA sebagai Mahapatih Dalam Pura, yang merubah karakter sebelumnya menjadi SABDO PALON dan NOYO GENGGONG. Alasannya adalah ketika pemerintahan raja ke-2 banyak terjadi pemberontakan akibat adanya HASUTAN dari orang-orang di dekat raja, sehingga diputuskan untuk membuat mekanisme steril dan memberi pendampingan berupa tokoh yang mampu memberikan pertimbangan obyektif kepada raja. Sedangkan masalah keamanan raja dan keluarganya diserahkan penuh kepada DHARMAPUTRA dan BHAYANGKARA (semacam paspampres dan pasukan khusus pelindung kotaraja / ibukota).

Sama dengan konsep SANG SAPU ANGIN dan SANG SAPU JAGAD, SABDO PALON dan NOYO GENGGONG bukanlah nama asli dari sang abdi tetapi gelar yang diberikan abdi sesuai karakter tugas yang diembannya. SABDO PALON berkonotasi SABDO = seseorang yang memberikan masukan / ajaran dan PALON = kebenaran yang bergema dalam ruang semesta, jadi SABDO PALON = Seseorang abdi yang berani menyuarakan kebenaran kepada raja dan berani menanggung akibatnya (di murkai raja dll). NAYA GENGGONG berkonotasi NAYA = nayaka atau seseorang abdi raja dan GENGGONG = mengulang-ulang suara, jadi NAYA GENGGONG = Seseorang abdi yang berani mengingatkan raja secara berulang-ulang tentang kebenaran dan berani menanggung akibatnya (di murkai raja dll). SABDO PALON bereaksi sebagai abdi yang memberikan pertimbangan sebelum raja mengambil tindakan, sedangkan NAYA GENGGONG adalah abdi yang memberikan teguran apabila raja melakukan kekeliruan dalam berperilaku.

Yang luar biasa dari konsep ini adalah SABDO PALON dan NAYA GENGGONG diambil dari abdi yang BUTA HURUF tetapi mempunyai pemahaman yang mendalam atas tugasnya sebagai pihak yang jadi pertimbangan raja. Alasannya : dengan kondisinya yang buta huruf, akan memperkecil pengaruh dari pihak luar dalam penyampaian pertimbangan ke raja, juga menjadi pertimbangan spiritual bagi raja ..... bahwa ada seseorang biasa (bukan bangsawan) dan buta huruf pula yang berani menegur raja ..... dan teguran itu membawa suara KEBENARAN, jelas abdi ini adalah mahluk yang mendapat pencerahan dari Tuhan (kata hati sang raja). Maka unsur tertiggi dari dua abdi ini adalah kejujuran, keluguan dan pemahaman yang mendalam atas HUKUM KEBENARAN SEMESTA. Itulah kepangkatan abdi dalem yang terdekat dengan Raja WILWATIKTA (Majapahit) : SABDO PALON dan NAYA GENGGONG.

SABDO PALON dan NAYA GENGGONG yang pertama kali ada adalah di era kepemimpinan SRI TRIBHUWANATUNGGADEWI MAHARAJASA JAYAWISNUWARDHANI. Bisa dibuktikan di petilasan beliau (Situs BHRE KAHURIPAN) di dusun Klinterejo, Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, disana selain petilasan Maha Rsi MAUDARA juga akan anda temukan petilasan (berupa "palenggahan" atau batu tempat duduk) dari dua abdi kinasih : SABDO PALON dan NAYA GENGGONG ini. Karena ini konsep struktural kenegaraan di era itu, hal yang sama juga di warisi oleh raja-raja berikutnya di Majapahit, itulah sebabnya banyak sekali tersebar petilasan yang berkonotasi SABDO PALON dan NAYA GENGGONG. Karena sejumlah beberapa era raja di Majapahit, sebanyak itu pula SABDO PALON dan NAYA GENGGONG ada.

Bila didekati secara spiritual, ada pertanyaan : Bisa tidak diasumsikan bahwa SABDO PALON dan NAYA GENGGONG adalah mahluk superior pilihan Tuhan guna menjadi pangemban Raja Majapahit ??? Jawabannya adalah BISA DIANGGAP DEMIKIAN, alasannya : JUJUR, MEMAHAMI HUKUM SEMESTA, TEGUH MENYUARAKAN KEBENARAN, PANDAI WALAUPUN BUTA HURUF, BERASAL DARI RAKYAT KEBANYAKAN, TIDAK SILAU HARTA BENDA MAUPUN JABATAN MESKIPUN DEKAT PENGAMBIL KEPUTUSAN ..... jelas hanya mahluk pilihan yang mampu menduduki derajat ini. Tapi kalau didekati secara MISTIS, bahwa SABDO PALON dan NAYA GENGGONG adalah tokoh sekaliber SEMAR atau Kanjeng Gusti Ratu Ayu KENCANASARI ...... Jawaban saya TIDAK seperti itu kedudukannya dalam tata krama keghaiban ..... malah bisa-bisa orang yang mendapat pangkat SABDO PALON dan NAYA GENGGONG itu bisa disusupi kekuatan spiritual SEMAR atau Kanjeng Gusti Ratu Ayu KENCANASARI.

Sekarang saya akan membicarakan hal yang sedikit rumit, khususnya era keruntuhan Majapahit pada masa pemerintahan : SRI GIRINDRAWARDHANA. Dibanyak buku yang beredar pada saat ini, tergambar seakan-akan SABDO PALON dan NAYA GENGGONG ketika berpisah / memisahkan diri dengan momongannya / sang Raja mengeluarkan SUMPAH SERAPAH, yang kemudian dikenal luas oleh masyarakat sebagai : Buku SABDO PALON dan NAYA GENGGONG NAGIH JANJI dan dikenal pula sebagai JANGKA SABDO PALON dan NAYA GENGGONG.

Saya telah berupaya secara tata lahir maupun tata bathin mencari benang merah karya tulis tersebut dengan kenyataan yang ada. Tetapi berkali-kali mengalami jalan buntu guna menemukan referensi nyatanya, malah cenderung mengarah bahwa karya tersebut dilahirkan di era MATARAM ISLAM oleh salah satu pujangga kratonnya. Yang agak unik ternyata banyak terjadi kemiripan dengan kasus pustaka raja JANGKA SRI AJI JAYABAYA yang muncul ditengah masyarakat tidak dalam bentuk penuh (cuplikan) yang disadur dalam judul JANGKA JAYABAYA MUSSASAR dan beberapa lagi yang menggunakan nama Islam dibelakangnya, padahal kita semua tahu sang Prabhu beragama Hindu-Budha. Dan lagi-lagi mengarah ke pujangga MATARAM ISLAM yang melakukan pensadurannya. Lepas dari apa yang menjadi motivasinya (apakah bernilai positif ataukah negatif bagi ketokohan SABDO PALON dan NAYA GENGGONG), saya merasa ini karya tulis sadur dari JANGKA JAYABAYA yang dikombinasikan dengan perasaan terluka sebagian masyarakat Jawa atas pertikaian ISLAM dan HINDU yang terjadi saat itu. 

Mari saya tunjukkan LOGIKA nya, SABDO PALON dan NAYA GENGGONG adalah abdi yang dibuat oleh sistem pemerintahan dengan mengutamakan asas kejujuran dan nilai kebenaran semesta guna mendampingi seorang Raja Majapahit. Dimana di dalam wisudanya mereka berjanji akan senantiasa JUJUR dan TEGUH MENYUARAKAN KEBENARAN BAGI RAJA, DAN AKAN MENGABDI SEUMUR HIDUPNYA GUNA KEJAYAAN NUSANTARA. Maka ketika kejadian mereka menegur raja dengan KERAS atas hal-hal yang dianggap melanggar pranata ..... saya masih bisa terima secara logika, tetapi ketika mereka menyumpah serapah semesta raya yang dapat menimbulkan bencana bagi nusantara ..... nah yang ini saya tidak sependapat / tidak bisa saya terima secara logika. Karena jatidiri mereka telah lebih dari sekedar siap untuk berkorban demi sang raja dan nusantara raya, terus kenapa menghancurkannya dengan sumpah atas perjuangan yang mereka bangun dan pengorbanan para SABDO PALON dan NAYA GENGGONG sebelumnya ???

Disinilah saya mengajak anda semua untuk berpikir panjang dan ber-bersih hati guna memahami kebenaran yang sejati. Ketika diceritakan SABDO PALON dan NAYA GENGGONG mengambil jalannya sendiri dan berpisah dengan raja ..... ini juga hal yang tidak cocok dengan konteks sumpah jabatannya. Setelah mengalami proses perenungan dan mengunjungi lokasi petilasan yang ada khususnya di lereng GUNUNG LAWU, SAYA SECARA PRIBADI MEMPUNYAI PENDAPAT, BAHWA SABDO PALON dan NAYA GENGGONG TIDAK PERNAH BERPISAH DENGAN SRI GIRINDRAWARDHANA HINGGA AKHIR HAYATNYA. Banyak jejak kebersamaan para beliau dalam pengungsian di tlatah kekuasaan BHRE MATARAM (sepupu sepuh sang raja), dari PENGGING, PANTAI DI PESISIR SELATAN GUNUNG KIDUL, WONOGIRI, LERENG LAWU dan PUNCAK LAWU. Justru pertimbangan dari SABDO PALON dan NAYA GENGGONG lah yang menurut saya mampu menenangkan sang Raja dari gundahnya pikiran, dan memutuskan menjadi Panembahan di Gunung Lawu. SABDO PALON dan NAYA GENGGONG juga yang membimbing proses pelepasan ego raja dan mensucikannya menjadi pertapa di sepanjang lereng hingga puncak Lawu. Kedua tokoh ini justru menjadi kunci bagi sang Raja mencapai pemahaman tertingginya atas kebenaran semesta yang diwedhar di Candi SUKUH dan Candi CETHO, sehingga ketika pencerahan itu terjadi ...... dua abdi ini yang pertama kali menyembah kepada SRI GIRINDRAWARDHANA dengan memanggilnya sebagai PANEMBAHAN AGUNG. (ada baiknya bagi anda yang juga pelaku spiritual untuk menjejaki kembali / napak tilas perjalanan tersebut ..... setelah itu simpulkan sendiri, apakah saat itu SABDO PALON dan NAYA GENGGONG berpisah ataukah masih tetap bersama-sama dengan momongannya).

Selasa, 09 Juni 2015

DIBALIK RUNTUHNYA MAJAPAHIT


Majapahit adalah sebuah Kerajaan besar. Sebuah Emperor. Yang wilayahnya membentang dari ujung utara pulau Sumatera, sampai Papua. Bahkan, Malaka yang sekarang dikenal dengan nama Malaysia, termasuk wilayah kerajaan Majapahit. Majapahit berdiri pada tahun 1293 Masehi. Didirikan oleh Raden Wijaya yang lantas setelah dikukuhkan sebagai Raja beliau bergelar Shrii Kertarajasha Jayawardhana. Eksistensi Majapahit sangat disegani diseluruh dunia. Diwilayah Asia, hanya Majapahit yang ditakuti oleh Kekaisaran Tiongkok China. Di Asia ini, pada abad XIII, hanya ada dua Kerajaan besar, Tiongkok dan Majapahit.

Lambang Negara Majapahit adalah Surya. Benderanya berwarna Merah dan Putih. Melambangkan darah putih dari ayah dan darah merah dari ibu. Lambang nasionalisme sejati. Lambang kecintaan pada bhumi pertiwi. Karma Bhumi. Dan pada jamannya, bangsa kita pernah menjadi Negara adikuasa, superpower, layaknya Amerika dan Inggris sekarang. Pusat pemerintahan ada di Trowulan, sekarang didaerah Mojokerto, Jawa Timur. Pelabuhan iInternasional-nya waktu itu adalah Gresik.

Agama resmi Negara adalah Hindhu aliran Shiwa dan Buddha. Dua agama besar ini dikukuhkan sebagai agama resmi Negara. Sehingga kemudian muncul istilah agama Shiva Buddha. Nama Majapahit sendiri diambil dari nama pohon kesayangan Deva Shiva, Avatara Brahman, yaitu pohon Bilva atau Vilva. Di Jawa pohon ini terkenal dengan nama pohon Maja, dan rasanya memang pahit. Maja yang pahit ini adalah pohon suci bagi penganut agama Shiva, dan nama dari pohon suci ini dijadikan nama kebesaran dari sebuah Emperor di Jawa. Dalam bahasa sanskerta, Majapahit juga dikenal dengan nama Vilvatikta (Wilwatikta. Vilva: Pohon Maja, Tikta : Pahit ). Sehingga, selain Majapahit ( baca : Mojopait) orang Jawa juga mengenal Kerajaan besar ini dengan nama Wilwatikta (Wilwotikto).

Kebesaran Majapahit mencapai puncaknya pada jaman pemerintahan Ratu Tribhuwanatunggadewi Jayawishnuwardhani (1328-1350 M). Dan mencapai jaman keemasan pada masa pemerintahan Prabhu Hayam Wuruk (1350-1389 M) dengan Mahapatih Gajah Mada-nya yang kesohor dipelosok Nusantara itu. Pada masa itu kemakmuran benar-benar dirasakan seluruh rakyat Nusantara. Benar-benar jaman yang gilang gemilang!

Stabilitas Majapahit sempat koyak akibat perang saudara selama lima tahun yang terkenal dengan nama Perang Pare-greg (1401-1406 M). Peperangan ini terjadi karena Kadipaten Blambangan hendak melepaskan diri dari pusat Pemerintahan. Blambangan yang diperintah oleh Bhre Wirabhumi berhasil ditaklukkan oleh seorang ksatria berdarah Blambangan sendiri yang membelot ke Majapahit, yaitu Raden Gajah. ( Kisah ini terkenal didalam masyarakat Jawa dalam cerita rakyat pemberontakan Adipati Blambangan Kebo Marcuet. Kebo = Bangsawan, Marcuet = Kecewa. Kebo Marcuet berhasil ditaklukkan oleh Jaka Umbaran. Jaka = Perjaka, Umbaran = Pengembara. Dan Jaka Umbaran setelah berhasil menaklukkan Adipati Kebo Marcuet, dikukuhkan sebagai Adipati Blambangan dengan nama Minak Jingga. Minak = Bangsawan, Jingga = Penuh Keinginan. Adipati Kebo Marcuet inilah Bhre Wirabhumi, dan Minak Jingga tak lain adalah Raden Gajah, keponakan Bhre Wirabhumi sendiri.)

Namun, sepeninggal Prabhu Wikramawardhana, ketika tahta Majapahit dilimpahkan kepada Ratu Suhita, Malahan Raden Gajah yang kini hendak melepaskan diri dari pusat pemerintahan karena merasa diingkari janjinya. Dan tampillah Raden Paramesywara, yang berhasil memadamkan pemberontakan Raden Gajah. Pada akhirnya, Raden Paramesywara diangkat sebagai suami oleh Ratu Suhita. (Dalam cerita rakyat, inilah kisah Damar Wulan. Ratu Suhita tak lain adalah Kencana Wungu. Kencana = Mutiara, Wungu = Pucat pasi, ketakutan. Dan Raden Paramesywara adalah Damar Wulan. Damar = Pelita, Wulan = Sang Rembulan).

Kondisi Majapahit stabil lagi. Hingga pada tahun 1453 Masehi, tahta Majapahit dipegang oleh Raden Kertabhumi yang lantas terkenal dengan gelar Prabhu Brawijaya ( Bhre Wijaya). Pada jaman pemerintahan beliau inilah, Islamisasi mulai merambah wilayah kekuasaan Majapahit, dimulai dari Malaka. Dan kemudian, mulai masuk menuju ke pusat kerajaan, ke pulau Jawa.


Diwilayah Kamboja selatan, dulu terdapat Kerajaan kecil yang masuk dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Kerajaan Champa namanya. ( Sekarang hanya menjadi perkampungan Champa ). Kerajaan ini berubah menjadi Kerajaan Islam semenjak Raja Champa memeluk agama baru itu. Keputusan ini diambil setelah seorang ulama Islam datang dari Samarqand, Bukhara. ( Sekarang didaerah Rusia Selatan). Ulama ini bernama Syeh Ibrahim As-Samarqand. Selain berpindah agama, Raja Champa bahkan mengambil Syeh Ibrahim As-Samarqand sebagai menantu.

Raja Champa memiliki dua orang putri. Yang sulung bernama Dewi Candrawulan dan yang bungsu bernama Dewi Anarawati. Syeh Ibrahim As-Samarqand dinikahkan dengan Dewi Candrawati. Dari hasil pernikahan ini, lahirlah dua orang putra, yang sulung bernama Sayyid ‘Ali Murtadlo, dan yang bungsu bernama Sayyid ‘Ali Rahmad. Karena berkebangsaan Champa ( Indo-china ), Sayyid ‘Ali Rahmad juga dikenal dengan nama Bong Swie Hoo. (Nama Champa dari Sayyid ‘Ali Murtadlo, Raja Champa, Dewi Candrawulan dan Dewi Anarawati, saya belum mengetahuinya : Damar Shashangka).

Kerajaan Champa dibawah kekuasaan Kerajaan Besar Majapahit yang berpusat di Jawa. Pada waktu itu Majapahit diperintah oleh Raden Kertabhumi atau Prabhu Brawijaya semenjak tahun 1453 Masehi. Beliau didampingi oleh adiknya Raden Purwawisesha sebagai Mahapatih. Pada tahun 1466, Raden Purwawisesha mengundurkan diri dari jabatannya, dan sebagai penggantinya diangkatlah Bhre Pandhansalas. Namun dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1468 Masehi, Bhre Pandhansalas juga mengundurkan diri.

Praktis semenjak tahun 1468 Masehi, Prabhu Brawijaya memerintah Majapahit tanpa didampingi oleh seorang Mahapatih. Apakah gerangan dalam masa pemerintahan Prabhu Brawijaya terjadi dua kali pengunduran diri dari seorang Mahapatih? Sebabnya tak lain dan tak bukan karena Prabhu Brawijaya terlalu lunak dengan etnis China dan orang-orang muslim.

Diceritakan, begitu Prabhu Brawijaya naik tahta, Kekaisaran Tiongkok mengirimkan seorang putri China yang sangat cantik sebagai persembahan kepada Prabhu Brawijaya untuk dinikahi. Ini dimaksudkan sebagai tali penyambung kekerabatan dengan Kekaisaran Tiongkok. Putri ini bernama Tan Eng Kian. Sangat cantik. Tiada bercacat. Karena kecantikannya, setelah Prabhu Brawijaya menikahi putri ini, praktis beliau hampi-hampir melupakan istri-istrinya yang lain. (Prabhu Brawijaya banyak memiliki istri, dari berbagai istri beliau, lahirlah tokoh-tokoh besar. Pada kesempatan lain, saya akan menceritakannya : Damar Shashangka).

Ketika putri Tan Eng Kian tengah hamil tua, rombongan dari Kerajaan Champa datang menghadap. Raja Champa sendiri yang datang. Diiringi oleh para pembesar Kerajaan dan ikut juga dalam rombongan, Dewi Anarawati. Raja Champa banyak membawa upeti sebagai tanda takluk. Dan salah satu upeti yang sangat berharga adalah, Dewi Anarawati sendiri.

Melihat kecantikan putri berdarah indo-china ini, Prabhu Brawijaya terpikat. Dan begitu Dewi Anarawati telah beliau peristri, Tan Eng Kian, putri China yang tengah hamil tua itu, seakan-akan sudah tidak ada lagi di istana. Perhatian Prabhu Brawijaya kini beralih kepada Dewi Anarawati.

Saking tergila-gilanya, manakala Dewi Anarawati meminta agar Tan Eng Kian disingkirkan dari istana, Prabhu Brawijaya menurutinya. Tan Eng Kian diceraikan. Lantas putri China yang malang ini diserahkan kepada Adipati Palembang Arya Damar untuk diperistri. Adipati Arya Damar sesungguhnya juga peranakan China. Dia adalah putra selir Prabhu Wikramawardhana, Raja Majapahit yang sudah wafat yang memerintah pada tahun 1389-1429 Masehi, dengan seorang putri China pula.

Nama China Adipati Arya Damar adalah Swan Liong. Menerima pemberian seorang janda dari Raja adalah suatu kehormatan besar. Perlu dicatat, Swan Liong adalah China muslim. Dia masuk Islam setelah berinteraksi dengan etnis China di Palembang, keturunan pengikut Laksamana Cheng Ho yang sudah tinggal lebih dahulu di Palembang. Oleh karena itulah, Palembang waktu itu adalah sebuah Kadipaten dibawah kekuasaan Majapahit yang bercorak Islam.

Arya Damar menunggu kelahiran putra yang dikandung Tan Eng Kian sebelum ia menikahinya. Begitu putri China ini selesai melahirkan, dinikahilah dia oleh Arya Damar.

Anak yang lahir dari rahim Tan Eng Kian, hasil dari pernikahannya dengan Prabhu Brawijaya, adalah seorang anak lelaki. Diberi nama Tan Eng Hwat. Karena ayah tirinya muslim, dia juga diberi nama Hassan. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan nama Raden Patah!

Dari hasil perkawinan Arya Damar dengan Tan Eng Kian, lahirlah juga seorang putra. Diberinama Kin Shan. Nama muslimnya adalah Hussein. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan nama Adipati Pecattandha, atau Adipati Terung yang terkenal itu!

Kembali ke Jawa. Dewi Anarawati yang muslim itu telah berhasil merebut hati Prabhu Brawijaya. Dia lantas menggulirkan rencana selanjutnya setelah berhasil menyingkirkan pesaingnya, Tan Eng Kian. Dewi Anarawati meminta kepada Prabhu Brawijaya agar saudara-saudaranya yang muslim, yang banyak tinggal dipesisir utara Jawa, dibangunkan sebuah Ashrama, sebuah Peshantian, sebuah Padepokan, seperti halnya Padepokan para Pandhita Shiva dan para Wiku Buddha.

Mendengar permintaan istri tercintanya ini, Prabhu Brawijaya tak bisa menolak. Namun yang menjadi masalah, siapakah yang akan mengisi jabatan sebagai seorang Guru layaknya padepokan Shiva atau Mahawiku layaknya padepokan Buddha? Pucuk dicinta ulam tiba, Dewi Anarawati segera mengusulkan, agar diperkenankan memanggil kakak iparnya, Syeh Ibrahim As-Samarqand yang kini ada di Champa untuk tinggal sebagai Guru di Ashrama Islam yang hendak dibangun. Dan lagi-lagi, Prabhu Brawijaya menyetujuinya.

Para Pembesar Majapahit, Para Pandhita Shiva dan Para Wiku Buddha, sudah melihat gelagat yang tidak baik. Mereka dengan halus memperingatkan Prabhu Brawijaya, agar selalu berhati-hati dalam mengambil sebuah keputusan penting.

Tak kurang-kurang, Sabdo Palon dan Nayagenggong, punakawan terdekat Prabhu Brawijaya juga sudah memperingatkan agar momongan mereka ini berhati-hati, tidak gegabah. Namun, Prabhu Brawijaya, bagaikan orang mabuk, tak satupun nasehat orang-orang terdekatnya beliau dengarkan.

Perekonomian Majapahit sudah hamper didominasi oleh etnis China semenjak putri Tan Eng Kian di peristri oleh Prabhu Brawijaya, dan memang itulah misi dari Kekaisaran Tiongkok. Kini, dengan masuknya Dewi Anarawati, orang-orang muslim-pun mendepat kesempatan besar. Apalagi, pada waktu itu, banyak juga orang China yang muslim. Semua masukan bagi Prabhu Brawijaya tersebut, tidak satupun yang diperhatikan secara sungguh-sungguh. Para Pejabat daerah mengirimkan surat khusus kepada Sang Prabhu yang isinya mengeluhkan tingkah laku para pendatang baru ini. Namun, tetap saja, ditanggapi acuh tak acuh.

Hingga pada suatu ketika, manakala ada acara rutin tahunan dimana para pejabat daerah harus menghadap ke ibukota Majapahit sebagai tanda kesetiaan, Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker ( Ponorogo sekarang), mempersembahkan tarian khusus buat Sang Prabhu. Tarian ini masih baru. Belum pernah ditampilkan dimanapun. Tarian ini dimainkan dengan menggunakan piranti tari bernama Dhadhak Merak. Yaitu sebuah piranti tari yang berupa duplikat kepala harimau dengan banyak hiasan bulu-bulu burung merak diatasnya. Dhadhak Merak ini dimainkan oleh satu orang pemain, dengan diiringi oleh para prajurid yang bertingkah polah seperti banci. ( Sekarang dimainkan oleh wanita tulen). Ditambah satu tokoh yang bernama Pujangganom dan satu orang Jathilan. Sang Pujangganom tampak menari-nari acuh tak acuh, sedangkan Jathilan, melompat-lompat seperti orang gila.

Sang Prabhu takjub melihat tarian baru ini. Manakala beliau menanyakan makna dari suguhan tarian tersebut, Ki Ageng Kutu, Adipati dari Wengker yang terkenal berani itu, tanpa sungkan-sungkan lagi menjelaskan, bahwa Dhadhak Merak adalah symbol dari Kerajaan Majapahit sendiri. Kepala Harimau adalah symbol dari Sang Prabhu. Bulu-bulu merak yang indah adalah symbol permaisuri sang Prabhu yang terkenal sangat cantik, yaitu Dewi Anarawati. Pasukan banci adalah pasukan Majapahit. Pujangganom adalah symbol dari Pejabat teras, dan Jathilan adalah symbol dari Pejabat daerah.

Arti sesungguhnya adalah, Kerajaan Majapahit, kini diperintah oleh seekor harimau yang dikangkangi oleh burung Merak yang indah. Harimau itu tidak berdaya dibawah selangkangan sang burung Merak. Para Prajurid Majapahit sekarang berubah menjadi penakut, melempem dan banci, sangat memalukan! Para pejabat teras acuh tak acuh dan pejabat daerah dibuat kebingungan menghadapi invasi halus, imperialisasi halus yang kini tengah terjadi. Dan terang-terangan Ki Ageng Kutu memperingatkan agar Prabhu Brawijaya berhati-hati dengan orang-orang Islam!

Kesenian sindiran ini kemudian hari dikenal dengan nama REOG PONOROGO!

Mendengar kelancangan Ki Ageng Kutu, Prabhu Brawijaya murka! Dan Ki Ageng Kutu, bersama para pengikutnya segera meninggalkan Majapahit. Sesampainya di Wengker, beliau mamaklumatkan perang dengan Majapahit!

Prabhu Brawijaya mengutus putra selirnya, Raden Bathara Katong untuk memimpin pasukan Majapahit, menggempur Kadipaten Wengker! (Akan saya ceritakan pada bagian kedua : Damar Shashangka).

Prabhu Brawijaya, menjanjikan daerah ‘perdikan’. Daerah perdikan adalah daerah otonom. Beliau menjanjikannya kepada Dewi Anarawati. Dan Dewi Anarawati meminta daerah Ampeldhenta ( didaerah Surabaya sekarang ) agar dijadikan daerah otonom bagi orang-orang Islam. Dan disana, rencananya akan dibangun sebuah Ashrama besar, pusat pendidikan bagi kaum muslim.

Begitu Prabhu Brawijaya menyetujui hal ini, maka Dewi Anarawati, atas nama Negara, mengirim utusan ke Champa. Meminta kesediaan Syeh Ibrahim As-Samarqand untuk tinggal di Majapahit dan menjadi Guru dari Padepokan yang hendak dibangun.

Dan permintaan ini adalah sebuah kabar keberhasilan luar biasa bagi Raja Champa. Misi peng-Islam-an Majapahit sudah diambang mata. Maka berangkatlah Syeh Ibrahim As-Samarqand ke Jawa. Diiringi oleh kedua putranya, Sayyid ‘Ali Murtadlo dan Sayyid ‘Ali Rahmad.

Sesampainya di Gresik, pelabuhan Internasional pada waktu itu, mereka disambut oleh masyarakat muslim pesisir yang sudah ada disana sejak jaman Prabhu Hayam Wuruk berkuasa. Masyarakat muslim ini mulai mendiami pesisir utara Jawa semenjak kedatangan Syeh Maulana Malik Ibrahim, yang pada waktu itu memohon menghadap kehadapan Prabhu Hayam Wuruk hanya untuk sekedar meminta beliau agar ‘pasrah’ memeluk Islam. Tentu saja, permintaan ini ditolak oleh Sang Prabhu Hayam Wuruk pada waktu itu karena dianggap lancang. Namun, beliau sama sekali tidak menjatuhkan hukuman. Beliau dengan hormat mempersilakan rombongan Syeh Maulana Malik Ibrahim agar kembali pulang. Namun sayang, di Gresik, banyak para pengikut Syeh Maulana Malik Ibrahim terkena wabah penyakit yang datang tiba-tiba. Banyak yang meninggal. Dan Syeh Maulana Malik Ibrahim akhirnya wafat juga di Gresik, dan lantas dikenal oleh orang-orang Jawa muslim dengan nama Sunan Gresik.

Syeh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik telah datang jauh-jauh hari sebelum ada yang dinamakan Dewan Wali Sangha (Sangha = Perkumpulan orang-orang suci. Sangha diambil dari bahasa Sansekerta. Bandingkan dengan doktrin Buddhis mengenai Buddha, Dharma dan Sangha. Kata-kata Wali Sangha lama-lama berubah menjadi Wali Songo yang artinya Wali Sembilan.: Damar Shashangka).

Rombongan dari Champa ini sementara waktu beristirahat di Gresik sebelum meneruskan perjalanan menuju ibukota Negara Majapahit. Sayang, setibanya di Gresik, Syeh Ibrahim As-Samarqand jatuh sakit dan meninggal dunia. Orang Jawa muslim mengenalnya dengan nama Syeh Ibrahim Smorokondi. Makamnya masih ada di Gresik sekarang.

Kabar meninggalnya Syeh Ibrahim As-Samarqand sampai juga di istana. Dewi Anarawati bersedih. Lantas, kedua putra Syeh Ibrahim As-Samarqand dipanggil menghadap. Atas usul Dewi Anarawati, Sayyid ‘Ali Rahmad diangkat sebagai pengganti ayahnya sebagai Guru dari sebuah Padepokan Islam yang hendak didirikan.

Bahkan, Sayyid ‘Ali Rahmad dan Sayyid ‘Ali Murtadlo mendapat gelar kebangsawanan Majapahit, yaitu Rahadyan atau Raden. Jadilah mereka dikenal dengan nama Raden Rahmad dan Raden Murtolo ( Orang Jawa tidak bisa mengucapkan huruf ‘dlo’. Huruf ‘dlo’ berubah menjadi ‘lo’. Seperti Ridlo, jadi Rilo, Ramadlan jadi Ramelan, Riyadloh jadi Riyalat, dll). Namun lama kelamaan, Raden Murtolo dikenal dengan nama Raden Santri, makamnya juga ada di Gresik sekarang.

Raden Rahmad, disokong pendanaan dari Majapahit, membangun pusat pendidikan Islam pertama di Jawa. Para muslim pesisir datang membantu. Tak berapa lama, berdirilah Padepokan Ampeldhenta. Istilah Padepokan lama-lama berubah menjadi Pesantren untuk membedakannya dengan Ashrama pendidikan Agama Shiva dan Agama Buddha. Lantas dikemudian hari, Raden Rahmad dikenal dengan nama Sunan Ampel.

Raden Santri, mengembara ke Bima, menyebarkan Islam disana, hingga ketika sudah tua, ia kembali ke Jawa dan meniggal di Gresik.

Para pembesar Majapahit, Para Pandhita Shiva dan Para Wiku Buddha, sudah memperingatkan Prabhu Brawijaya. Sebab sudah terdengar kabar dimana-mana, kaum baru ini adalah kaum missioner. Kaum yang punya misi tertentu. Malaka sudah berubah menjadi Kadipaten Islam, Pasai juga, Palembang juga, dan kini gerakan itu sudah semakin dekat dengan pusat kerajaan.

Semua telah memperingatkan Sang Prabhu. Tak ketinggalan pula Sabdo Palon dan Naya Genggong. Namun, bagaikan berlalunya angin, Prabhu Brawijaya tetap tidakmendengarkannya.Raja Majapahit yang ditakuti ini, kini bagaikan harimau yang takluk dibawah kangkangan burung Merak, Dewi Anarawati.

Benarlah apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Kutu dari Wengker dulu.

R U N T U H N Y A M A J A P A H I T

Berdirinya Giri Kedhaton

Blambangan ( Banyuwangi sekarang ), sekitar tahun 1450 Masehi terkena wabah penyakit. Hal ini dikarenakan ketidaksadaran masyarakatnya yang kurang mampu menjaga kebersihan lingkungan. Blambangan diperintah oleh Adipati Menak Sembuyu, didampingi Patih Bajul Sengara.

Wabah penyakit itu masuk juga ke istana Kadipaten. Putri Sang Adipati, Dewi Sekardhadhu, jatuh sakit. Ditengah wabah yang melanda, datanglah seorang ulama dari Samudera Pasai ( Aceh sekarang ), yang masih berkerabat dekat dengan Syeh Ibrahim As-Samarqand, bernama Syeh Maulana Ishaq. Dia ahli pengobatan. Mendengar Sang Adipati mengadakan sayembara, dia serta merta mengikutinya. Dan berkat keahlian pengobatan yang dia dapat dari Champa, sang putri berangsur-angsur sembuh.

Adipati Menak Sembuyu menepati janji. Sesuai isi sayembara, barangsiapa yang mampu menyembuhkan sang putri, jika lelaki akan dinikahkan jika perempuan akan diangkat sebagai saudara, maka, Syeh Maulana Ishaq dinikahkan dengan Dewi Sekardhadhu.

Namun pada perjalanan waktu selanjutnya, ketegangan mulai timbul. Ini disebabkan, Syeh Maulana Ishaq, mengajak Adipati beserta seluruh keluarga untuk memeluk agama Islam.

Ketegangan ini lama-lama berbuntut pengusiran Syeh Maulana Ishaq dari Blambangan. Perceraian terjadi. Dan waktu itu, Dewi Sekardhadhu tengah hamil tua. Keputusan untuk menceraikan Dewi Sekardhadhu dengan Syeh Maulana Ishaq ini diambil oleh Sang Adipati karena melihat stabilitas Kadipaten Blambangan yang semula tenang, lama-lama terpecah menjadi dua kubu. Kubu yang mengidolakan Syeh Maulana Ishaq dan kubu yang tetap menolak infiltrasi asing ke wilayah mereka. Kubu pertama tertarik pada ajaran Islam, sedangkan kubu kedua tetap tidak menyetujui masuknya Islam karena terlalu diskriminatif menurut mereka. Antar kerabat jadi terpecah belah, saling curiga dan tegang. Ini yang tidak mereka sukai.

Sepeninggal Syeh Maulana Ishaq, ternyata masalah belum usai. Kubu yang pro ulama Pasai ini, kini menantikan kelahiran putra sang Syeh yang tengah dikandung Dewi Sekardhadhu. Sosok Syeh Maulana Ishaq, kini menjadi laten bagi stabilitas Blambangan. Mendapati situasi ketegangan belum juga bisa diredakan, maka mau tak mau, Adipati Blambangan, dengan sangat terpaksa, memberikan anak Syeh Maulana Ishaq, cucunya sendiri kepada saudagar muslim dari Gresik. Anak itu terlahir laki-laki.

Dalam cerita rakyat dari sumber Islam, konon dikisahkan anak itu dilarung ketengah laut (meniru cerita Nabi Musa) dengan menggunakan peti. Konon ada saudagar muslim Gresik yang tengah berlayar. Kapal dagangnya tiba-tiba tidak bisa bergerak karena menabrak peti itu. Dan peti itu akhirnya dibawa naik ke geladak oleh anak buah sang saudagar. Isinya ternyata seorang bayi.

Sesungguhnya itu hanya cerita kiasan. Yang terjadi, saudagar muslim Gresik yang tengah berlayar di Blambangan diperintahkan untuk menghadap ke Kadipaten menjelang mereka hendak balik ke Gresik. Inilah maksudnya kapal tidak bisa bergerak. Para saudagar bertanya-tanya, ada kesalahan apa yang mereka buat sehingga mereka disuruh menghadap ke Kadipaten? Ternyata, di Kadipaten, Adipati Menak Sembuyu, dengan diam-diam telah mengatur pertemuan itu. Sang Adipati memberikan seorang anak bayi, cucunya sendiri, yang lahir dari ayah seorang muslim. Anak itu dititipkan kepada para saudagar anak buah saudagar kaya di Gresik yang bernama Nyi Ageng Pinatih, yang seorang muslim. Adipati Menak Sembuyu tahu telah menitipkan cucunya kepada siapa. Beliau yakin, cucunya akan aman bersama Nyi Ageng Pinatih. Hanya dengan jalan inilah, Blambangan dapat kembali tenang.

Putra Syeh Maulana Ishaq ini, lahir pada tahun 1452 Masehi.

Sekembalinya dari Blambangan, para saudagar ini menghadap kepada majikan mereka, Nyi Ageng Pinatih sembari memberikan oleh-oleh yang sangat berharga. Seorang anak bayi keturunan bangsawan Blambangan. Bahkan dia adalah putra Syeh Maulana Ishaq, sosok yang disegani oleh orang-orang muslim. Nyi Ageng Pinatih tidak berani menolak sebuah anugerah itu. Diambillah bayi itu, dianggap anak sendiri. Karena bayi itu hadir seiring kapal selesai berlayar dari samudera, maka bayi itu dinamakan Jaka Samudera oleh Nyi Ageng Pinatih.

Jaka Samudera dibawa menghadap ke Ampeldhenta menjelang usia tujuh tahun. Dia tinggal disana. Belajar agama dari Sunan Ampel.

Sunan Ampel yang tahu siapa Jaka Samudera yang sebenarnya dari Nyi Ageng Pinatih, maka sosok anak ini sangat dia perhatikan dan diistimewakan. Sunan Ampel menganggapnya anak sendiri.

Sunan Ampel, dari hasil perkawinannya dengan kakak kandung Adipati Tuban Arya Teja, memiliki delapan putra dan putri. Yang penting untuk diketahui adalah Makdum Ibrahim ( Nama Champa-nya : Bong- Ang : kelak terkenal dengan sebutan Sunan Benang. Lama-lama pengucapannya berubah menjadi Sunan Bonang). Yang kedua Abdul Qasim, terkenal kemudian dengan nama Sunan Derajat. Yang ketiga Maulana Ahmad, yang terkenal dengan nama Sunan Lamongan, yang keempat bernama Siti Murtasi’ah, kelak dijodohkan dengan Jaka Samudera, yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Giri Kedhaton (Sunan Giri), yang kelima putri bernama Siti Asyiqah, kelak dijodohkan dengan Raden Patah ( Tan Eng Hwat ), putra Tan Eng Kian, janda Prabhu Brawijaya yang ada di Palembang itu.

Kekuatan Islam dibangun melalui tali pernikahan. Jaka Samudera, diberi nama lain oleh Sunan Ampel, yaitu Raden Paku. Kelak dia dikenal dengan nama Sunan Giri Kedhaton. Dia adalah santri senior. Sunan Ampel bahkan telah mencalonkan, mengkaderkan dia sebagai penggantinya kelak bila sudah meninggal.

Sunan Giri sangat radikal dalam pemahaman keagamannya. Setamat berguru dari Ampeldhenta, dia pulang ke Gresik. Di Gresik, dia menyatukan komunitas muslim disana. Dia mendirikan Pesantren. Terkenal dengan nama Pesantren Giri.

Namun dalam perkembangannya, Pesantren Giri memaklumatkan lepas dari kekuasaan Majapahit yang dia pandang Negara kafir. Pesantren Giri berubah menjadi pusat pemerintahan. Maka dikenal dengan nama Giri Kedhaton ( Kerajaan Giri ). Sunan Giri, mengangkat dirinya sebagi khalifah Islam dengan gelar Prabhu Satmata ( Penguasa Bermata Enam. Gelar sindiran kepada Deva Shiva yang cuma bermata tiga ).

Mendengar Gresik melepaskan diri dari pusat kekuasan, Prabhu Brawijaya, sebagai Raja Diraja Nusantara yang sah, segera mengirimkan pasukan tempur untuk menjebol Giri Kedhaton. Darah tertumpah. Darah mengalir. Dan akhirnya, Giri Kedhaton bisa ditaklukkan. Kekhalifahan Islam bertama itu tidak berumur lama. Namun kelak, setelah Majapahit hancur oleh serangan Demak Bintara, Giri Kedhaton eksis lagi mulai tahun 1487 Masehi. (Sembilan tahun setelah Majapahit hancur pada tahun 1478 Masehi).

Dari sumber Islam, banyak cerita yang memojokkan pasukan Majapahit. Konon Sunan Giri berhasil mengusir pasukan Majapahit hanya dengan melemparkan sebuah kalam atau penanya. Kalam miliknya ini katanya berubah menjadi lebah-lebah yang menyengat. Sehingga membuat puyeng atau munyeng para prajurid Majapahit. Maka dikatakan, ‘kalam’ yang bisa membuat ‘munyeng’ inilah senjata andalan Sunan Giri. Maka dikenal dengan nama ‘Kalamunyeng’. Sesungguhnya, ini hanya kiasan belaka. Sunan Giri, melalui tulisan-tulisannya yang mengobarkan semangat ke-Islam-an, mampu mengadakan pemberontakan yang sempat ‘memusingkan’ Majapahit.

Namun, karena Sunan Ampel meminta pengampunan kepada Prabhu Brawijaya, Sunan Giri tidak mendapat hukuman. Tapi gerak-geriknya, selalu diawasi oleh Pasukan Telik Sandhibaya ( Intelejen ) Majapahit. Inilah kelemahan Prabhu Brawijaya. Terlalu meremehkan bara api kecil yang sebenarnya bisa membahayakan.

Sabdo Palon dan Naya Genggong sudah mengingatkan agar seorang yang bersalah harus mendapatkan sangsi hukuman. Karena itulah kewajiban yang merupakan sebuah janji seorang Raja. Salah satu kewajiban menjalankan janji suci sebagai AGNI atau API, yang harus mengadili siapa saja yang bersalah. Janji ini adalah satu bagian integral dari tujuh janji yang lain, yaitu ANGKASHA (Ruang), Raja harus memberikan ruang untuk mendengarkan suara rakyatnya, VAYU (Angin), Raja harus mampu mewujudkan pemerataan kesejahteraan kepada rakyatnya bagai angin, AGNI (Api), Raja harus memberikan hukuman yang seadil-adilnya kepada yang bersalah tanpa pandang bulu bagai api yang membakar, TIRTA (Air), Raja harus mampu menumbuhkan kesejahteraan perekonomian bagi rakyatnya bagaikan air yang mampu menumbuhkan biji-bijian, PRTIVI (Tanah), Raja harus mampu memberikan tempat yang aman bagi rakyatnya, menampung semuanya, tanpa ada diskriminasi, bagaikan tanah yang mau menampung semua manusia, SURYA (Matahari), Raja harus mampu memberikan jaminan keamanan kepada seluruh rakyat tanpa pandang bulu seperti Matahari yang memberikan kehidupan kepada mayapada, CHANDRA (Bulan ), Raja harus mampu mengangkat rakyatnya dari keterbelakangan, dari kebodohan, dari kegelapan, bagaikan sang rembulan yang menyinari kegelapan dimalam hari, dan yang terakhir adalah KARTIKA (Bintang), Raja harus mampu memberikan aturan-aturan hukum yang jelas, kepastian hukum bagi rakyat demi kesejahteraan, kemanusiaan, keadilan, bagaikan bintang gemintang yang mampu menunjukkan arah mata angin dengan pasti dikala malam menjalang. Inilah DELAPAN JANJI RAJA yang disebut ASTHAVRATA (Astobroto ; Jawa ). Dan menurut Sabdo Palon dan Naya Genggong, Prabhu Brawijaya telah lalai menjalankan janji sucinya sebagai AGNI.

Mendapati kondisi memanas seperti itu, Sunan Ampel mengeluarkan sebuah fatwa, Haram hukumnya menyerang Majapahit, karena bagaimanapun juga Prabhu Brawijaya adalah Imam yang wajib dipatuhi. Setelah keluar fatwa dari pemimpin Islam se-Jawa, konflik mulai mereda.

Namun bagaimanapun juga, dikalangan orang-orang Islam diam-diam terbagi menjadi dua kubu. Yaitu kubu yang mencita-citakan berdirinya Kekhalifahan Islam Jawa, dan kubu yang tidak menginginkan berdirinya Kekhalifahan itu. Kubu kedua ini berpendapat, dalam naungan Kerajaan Majapahit, yang notabene Shiva Buddha, ummat Islam diberikan kebebasan untuk melaksanakan ibadah agamanya. Bahkan, syari’at Islam pun boleh dijalankan didaerah-daerah tertentu.

Kubu pertama dipelopori oleh Sunan Giri, sedangkan kubu kedua dipelopori oleh Sunan Kalijaga, putra Adipati Tuban Arya Teja, keponakan Sunan Ampel. Kubu Sunan Giri mengklaim, bahwa golongan mereka memeluk Islam secara kaffah, secara bulat-bulat, maka pantas disebut PUTIHAN (Kaum Putih). Dan mereka menyebut kubu yang dipimpin Sunan Kalijaga sebagai ABANGAN (Kaum Merah).

Bibit perpecahan didalam orang-orang Islam sendiri mulai muncul. Hal ini hanya bagaikan api dalam sekam ketika Sunan Ampel masih hidup. Kelak, ketika Majapahit berhasil dijebol oleh para militant Islam dan ketika Sunan Ampel sudah wafat, kedua kubu ini terlibat pertikaian frontal yang berdarah-darah ( Yang paling parah dan memakan banyak korban, sampai-sampai para investor dari Portugis melarikan diri ke Malaka dan menceritakan di Jawa tengah terjadi situasi chaos dan anarkhis yang mengerikan, adalah pertikaian antara Arya Penangsang, santri Sunan Kudus, penguasa Jipang Panolan dari kubu Putihan dengan Jaka Tingkir atau Mas Karebet, santri dari Sunan Kalijaga, penguasa Pajang dari kubu Abangan. Nanti akan saya ceritakan : Damar Shashangka ).

Berdirinya Ponorogo.

Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker, sebenarnya masih keturunan bangsawan Majapahit. Beliau masih keturunan Raden Kudha Merta, ksatria dari Pajajaran yang melarikan diri bersama Raden Cakradhara. Raden Kudha Merta berhasil menikah dengan Shri Gitarja, putri Raden Wijaya, Raja Pertama Majapahit. Sedangkan Raden Cakradhara berhasil menikahi Tribhuwanatunggadewi, kakak kandung Shri Gitarja.

Dari perkawinan antara Raden Cakradhara dengan Tribhuwanatunggadewi inilah lahir Prabhu Hayam Wuruk yang terkenal itu. Sedangkan Raden Kudha Merta, menjadi penguasa daerah Wengker, yang sekarang dikenal dengan nama Ponorogo.

Ki Ageng Kutu adalah keturunan dari Raden Kudha Merta dan Shri Gitarja.

Melihat Majapahit, dibawah pemerintahan Prabhu Brawijaya bagaikan harimau yang kehilangan taringnya, Ki Ageng Kutu, memaklumatkan perang dengan Majapahit.

Prabhu Brawijaya atau Prabhu Kertabhumi menjawab tantangan Ki Ageng Kutu dengan mengirimkan sejumlah pasukan tempur Majapahit dibawah pimpinan Raden Bathara Katong, putra selir beliau.

Peperangan terjadi. Pasukan Majapahit terpukul mundur. Hal ini disebabkan, banyak para prajurid Majapahit yang membelot dari kesatuannya dan memperkuat barisan Wengker. Pasukan yang dipimpin Raden Bathara Katong kocar-kacir.

Raden Bathara Katong yang merasa malu karena telah gagal menjalankan tugas Negara, konon tidak mau pulang ke Majapahit. Dia bertekad, bagaimanapun juga, Wengker harus ditundukkan. Inilah sikap seorang Ksatria sejati.

Ada seorang ulama Islam yang tinggal di Wengker yang mengamati gejolak politik itu. Dia bernama Ki Ageng Mirah. Situasi yang tak menentu seperti itu, dimanfaatkan olehnya. Dia mendengar Raden Bathara Katong tidak pulang ke Majapahit, dia berusaha mencari kebenaran berita itu. Dan usahanya menuai hasil. Dia berhasil menemukan tempat persembunyian Raden Bathara Katong.

Dia menawarkan diri bisa memberikan solusi untuk menundukkan Wengker karena dia sudah lama tinggal disana. Raden Bathara Katong tertarik. Namun diam-diam, Ki Ageng Mirah, menanamkan doktrin ke-Islam-an dibenak Raden Bathara Katong. Jika ini berhasil, setidaknya peng-Islam-an Wengker akan semakin mudah, karena Raden Bathara Katong mempunyai akses langsung dengan militer Majapahit. Jika-pun tidak berhasil membuat Raden Bathara Katong memeluk Islam, setidaknya, kelak dia tidak akan melupakan jasanya telah membantu memberitahukan titik kelemahan Wengker. Dan bila itu terjadi, Ki Ageng Mirah pasti akan menduduki kedudukan yang mempunyai akses luas menyebarkan Islam di Wengker.

Dan ternyata, Raden Bathara Katong tertarik dengan agama baru itu.

Selanjutnya, Ki Ageng Mirah mengatur rencana. Raden Bathara Katong harus pura-pura meminta suaka politik di Wengker. Raden Bathara Katong harus mengatakan untuk memohon perlindungan kepada Ki Ageng Kutu. Dia harus pura-pura membelot dari pihak Majapahit.

Ki Ageng Kutu pasti akan menerima pengabdian Raden Bathara Katong. Ki Ageng Kutu pasti akan senang melihat Raden Bathara Katong telah membelot dan kini berada di fihaknya. Manakala rencana itu sudah berhasil, Raden Bathara Katong harus mengutarakan niatnya untuk mempersunting Ni Ken Gendhini, putri sulung Ki Ageng Kutu sebagai istri. Mengingat status Raden Bathara Katong sebagai seorang putra Raja Majapahit, lamaran itu pasti akan disambut gembira oleh Ki Ageng Kutu..

Dan bila semua rencana berjalan mulus, Raden Bathara Katong harus mampu menebarkan pengaruhnya kepada kerabat Wengker. Dia harus jeli dan teliti mengamati titik kelemahan Wengker. Ni Ken Gendhini, putri Ki Ageng Kutu bisa dimanfaatkan untuk tujuan itu.

Bila semua sudah mulus berjalan, dan bila waktunya sudah tepat, maka Raden Bathara Katong harus sesegera mungkin mengirimkan utusan ke Majapahit untuk meminta pasukan tempur tambahan.

Bila semua berjalan lancar, Wengker pasti jatuh!

Raden Bathara Katong melaksanakan semua rencana yang disusun Ki Ageng Mirah. Dan atas kelihaian Raden Bathara Katong, semua berjalan lancar.

Ki Ageng Kutu, yang merasa masih mempunyai hubungan kekerabatan jauh dengan Raden Bathara Katong, dengan suka rela berkenan memberikan suaka politik kepadanya. Ditambah, ketika Raden Bathara Katong mengutarakan niatnya untuk mempersunting Ni Ken Gendhini, Ki Ageng Kutu serta merta menyetujuinya.

Rencana bergulir. Umpan sudah dimakan. Tinggal menunggu waktu.

Ni Ken Gendhini mempunyai dua orang adik laki-laki, Sura Menggala dan Sura Handaka. (Sura Menggala = baca Suromenggolo, sampai sekarang menjadi tokoh kebanggaan masyarakat Ponorogo. Dikenal dengan nama Warok Suromenggolo : Damar Shashangka).

Ni Ken Gendhini dan Sura Menggala berhasil masuk pengaruh Raden Bathara Katong, sedangkan Sura Handaka tidak.

Raden Bathara Katong berhasil mengungkap segala seluk-beluk kelemahan Wengker dari Ni Ken Gendhini. Inilah yang diceritakan secara simbolik dengan dicurinya Keris Pusaka Ki Ageng Kutu, yang bernama Keris Kyai Condhong Rawe oleh Ni Ken Gendhini dan kemudian diserahkan kepada Raden Bathara Katong.

Condhong Rawe hanya metafora. Condhong berarti Melintang (Vertikal) dan Rawe berarti Tegak (Horisontal). Arti sesungguhnya adalah, kekuatan yang tegak dan melintang dari seluruh pasukan Wengker, telah berhasil diketahui secara cermat oleh Raden Bathara Katong atas bantuan Ni Ken Gendhini. Struktur kekuatan militer ini sudah bisa dibaca dan diketahui semuanya.

Dan manakala waktu sudah dirasa tepat, dengan diam-diam, dikirimkannya utusan kepada Ki Ageng Mirah. Utusan ini menyuruh Ki Ageng Mirah, atas nama Raden Bathara Katong, memohon tambahan pasukan tempur ke Majapahit.

Mendapati kabar Raden Bathara Katong masih hidup, Prabhu Brawijaya segera memenuhi permintaan pengiriman pasukan baru.

Majapahit dan Wengker diadu! Majapahit dan Wengker tidak menyadari, ada pihak ketiga bermain disana! Ironis sekali.

Peperangan kembali pecah. Ki Ageng Kutu yang benar-benar merasa kecolongan, dengan marah mengamuk dimedan laga bagai bantheng ketaton, bagai banteng yang terluka. Demi Dharma, dia rela menumpahkan darahnya diatas bumi pertiwi. Walau harus lebur menjadi abu, Ki Ageng Kutu, beserta segenap pasukan Wengker, maju terus pantang mundur!

Namun bagaimanapun, seluruh struktur kekuatan Wengker telah diketahui oleh Raden Bathara Katong. Pasukan Wengker, yang terkenal dengan nama Pasukan Warok itu terdesak hebat! Namun, Ki Ageng Kutu beserta seluruh pasukannya telah siap untuk mati. Siap mati habis-habisan! Siap menumpahkan darahnya diatas hamparan pangkuan ibu pertiwi! Dengan gagh berani, pasukan ksatria ini terus merangsak maju, melawan pasukan Majapahit.

Banyak kepala pasukan Majapahit yang menangis melihat mereka harus bertempur dengan saudara sendiri. Banyak yang meneteskan air mata, melihat mayat-mayat prajurid Wengker bergelimpangan bermandikan darah. Dan pada akhirnya, Wengker berhasil dijebol. Wengker berhasil dihancurkan!

Darah menetes! Darah membasahi ibu pertiwi. Darah harum para ksatria sejati yang benar-benar tulus menegakkan Dharma! Alam telah mencatatnya! Alam telah merekamnya!

Kabar kemenangan itu sampai di Majapahit. Namun, Prabhu Brawijaya berkabung mendengar kegagahan pasukan Wengker. Mendengar kegagahan Ki Ageng Kutu. Seluruh Pejabat Majapahit berkabung. Sabdo Palon dan Naya Genggong berkabung. Kabar kemenangan itu membuat Majapahit bersedih, bukannya bersuka cita.

Para pejabat Majapahit menagis sedih melihat sesama saudara harus saling menumpahkan darah karena campur tangan pihak ketiga, karena disebabkan adanya pihak ketiga. Ki Ageng Kutu adalah seorang Ksatria yang gagah berani. Ki Ageng Kutu adalah salah satu sendi kekuatan militer Majapahit. Kini, Ki Ageng Kutu harus gugur ditangan pasukan Majapahit sendiri. Betapa tidak memilukan!

Kadipaten Wengker kini dikuasai oleh Raden Bathara Katong. Surat pengukuhan telah diterima dari pusat. Dan Wengker lantas dirubah namanya menjadi Kadipaten Ponorogo. Wengker yang Shiva Buddha, kini telah berhasil menjadi Kadipaten Islam.

RUNTUHNYA MAJAPAHIT

Kubu Abangan

Seorang ulama berdarah Majapahit, yang lahir di Kadipaten Tuban, yang sangat dikenal dikalangan masyarakat Jawa yaitu Sunan Kalijaga, mati-matian membendung gerakan militansi Islam. Beliau seringkali mengingatkan, bahwasanya membangun akhlaq lebih penting daripada mendirikan sebuah Negara Islam.

Sunan Kalijaga adalah putra Adipati Tuban, Arya Teja. Adipati Arya Teja adalah keturunan Senopati Agung Majapahit masa lampau, Adipati Arya Ranggalawe yang berhasil memimpin pasukan Majapahit mengalahkan pasukan Tiongkok Mongolia yang hendak menguasai Jawa ( Adipati Arya Ranggalawe adalah salah satu tangan kanan Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit.)

Adipati Arya Teja berhasil di Islamkan oleh Sunan Ampel. Bahkan kakak kandung beliau dinikahi Sunan Ampel. Dari pernikahan Sunan Ampel dengan kakak kandung Adipati Arya Teja, lahirlah Sunan Bonang, Sunan Derajat, Sunan Lamongan, dan lima putri yang lain (seperti yang telah saya tulis pada bagian pertama : Damar Shashangka).

Para pengikut Sunan Giri yang tidak sepaham dengan para pengikut Sunan Kalijaga, sering terlibat konflik-konflik terselubung. Di pihak Sunan Giri, banyak ulama yang bergabung, seperti Sunan Derajat, Sunan Lamongan, Sunan Majagung ( sekarang dikenal dengan Sunan Bejagung), Sunan Ngundung dan putranya Sunan Kudus, dll.

Dipihak Sunan Kalijaga, ada Sunan Murya (sekarang dikenal dengan nama Sunan Muria), Syeh Jangkung, Syeh Siti Jenar, dll.

Khusus mengenai Syeh Siti Jenar atau juga disebut Sunan Kajenar, beliau adalah ulama murni yang menekuni spiritualitas. Beliau sangat-sangat tidak menyetujui gerakan kaum Putih yang merencanakan berdirinya Negara Islam Jawa.

Pertikaian ini mencapai puncaknya ketika Syeh Siti Jenar, menyatakan keluar dari Dewan Wali Sangha. Syeh Siti Jenar menyatakan terpisah dari Majelis Ulama Jawa itu. Beliau tidak mengakui lagi Sunan Ampel sebagai seorang Mufti.

Didaerah Cirebon, Syeh Siti Jenar banyak memiliki pengikut.

Manakala menjelang awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat dan kedudukan Mufti digantikan oleh Sunan Giri, keberadaan Syeh Siti Jenar dianggap sangat membahayakan Islam.

Semua dinamika ini, terus diamati oleh intelejen Majapahit. Gerakan-gerakan militansi Islam mulai merebak dipesisir utara Jawa. Mulai Gresik, Tuban, Demak, Cirebon dan Banten. Para pejabat daerah telah mengirimkan laporan kepada Prabhu Brawijaya. Tapi Prabhu Brawijaya tetap yakin, semua masih dibawah kontrol beliau.

Keturunan di Pengging

Pernikahan Dewi Anarawati dengan Prabhu Brawijaya semakin dikukuhkan dengan diangkatnya putri Champa ini sebagai permaisuri. Keputusan yang sangat luar biasa ini menuai protes. Kesuksesan besar bagi Dewi Anarawati membuat para pejabat Majapahit resah. Bisa dilihat jelas disini, bila kelak Prabhu Brawijaya wafat, maka yang akan menggantikannya sudah pasti putra dari seorang permaisuri. Dan sang permaisuri beragama Islam. Dapat dipastikan, Majapahit akan berubah menjadi Negara Islam.

Dari luar Istana, Sunan Giri menyusun strategi memperkuat barisan militansi Islam. Dari dalam Istana, Dewi Anarawati mempersiapkan rencana yang brilian. Jika Sunan Giri gagal merebut Majapahit dengan cara pemberontakan, dari dalam istana, Majapahit sudah pasti bisa dikuasai oleh Dewi Anarawati. Bila rencana pertama gagal, rencana kedua masih bisa berjalan.

Tapi ternyata, apa yang diharapkan Dewi Anarawati menuai hambatan. Dari hasil perkawinannya dengan Prabhu Brawijaya, lahirlah tiga orang anak. Yang sulung seorang putri, dinikahkan dengan Adipati Handayaningrat IV, penguasa Kadipaten Pengging ( sekitar daerah Solo, Jawa Tengah sekarang), putra kedua bernama Raden Lembu Peteng, berkuasa di Madura, dan yang ketiga Raden Gugur, masih kecil dan tinggal di Istana. (Kelak, Raden Gugur inilah yang terkenal dengan julukan Sunan Lawu, dipercaya sebagai penguasa mistik Gunung Lawu, yang terletak didaerah Magetan, hingga sekarang : Damar Shashangka).

Hambatan yang dituai Dewi Anarawati adalah, putri sulungnya tidak tertarik memeluk Islam, begitu juga dengan Raden Gugur. Hanya Raden Lembu Peteng yang mau memeluk Islam.

Dari pernikahan putri sulung Dewi Anarawati dengan Adipati Handayaningrat IV, lahirlah dua orang putra, Kebo Kanigara dan Kebo Kenanga. Keduanya juga tidak tertarik memeluk Islam. Si sulung bahkan pergi meninggalkan kemewahan Kadipaten dan menjadi seorang pertapa di Gunung Merapi ( didaerah Jogjakarta sekarang). Sampai sekarang, petilasan bekas pertapaan beliau masih ada dan berubah menjadi sebuah makam yang seringkali diziarahi.

Otomatis, yang kelak menggantikan Adipati Handayaningrat IV sebagai Adipati Pengging, bahkan juga jika Prabhu Brawijaya mangkat, tak lain adalah adik Kebo Kanigara, yaitu Kebo Kenanga. Kelak, dia akan mendapat limpahan tahta Pengging maupun Majapahit! Inilah pewaris sah tahta Majapahit.

Kebo Kenanga lantas dikenal dengan nama Ki Ageng Pengging.

Ki Ageng Pengging sangat akrab dengan Syeh Siti Jenar. Keduanya, yang satu beragama Shiva Buddha dan yang satu beragama Islam, sama-sama tertarik mendalami spiritual murni. Mereka berdua seringkali berdiskusi tentang ‘Kebenaran Sejati’. Dan hasilnya, tidak ada perbedaan diantara Shiva Buddha dan Islam.

Namun kedekatan mereka ini disalah artikan oleh ulama-ulama radikal yang masih melihat kulit, masih melihat perbedaan. Syeh Siti Jenar dituduh mendekati Ki Ageng Pengging untuk mencari dukungan kekuatan. Dan konyolnya, Ki Ageng Pengging dikatakan sebagai murid Syeh Siti Jenar yang hendak melakukan pemberontakan ke Demak Bintara. Padahal Ki Ageng Pengging tidak tertarik dengan tahta. Walaupun sesungguhnya, memang benar bahwa beliau lah yang lebih berhak menjadi Raja Majapahit kelak ketika Majapahit berhasil dihancurkan oleh Raden Patah Dan juga, Ki Ageng Pengging bukanlah seorang muslim. Beliau dengan Syeh Siti Jenar hanyalah seorang ‘sahabat spiritual’. Hubungan seperti ini, tidak akan bisa dimengerti oleh mereka yang berpandangan dangkal. Ki Ageng Pengging dan Syeh Siti Jenar adalah seorang spiritualis sejati. Kelak, setalah Majapahit berhasil dihancurkan para militant Islam, dua orang sahabat ini menjadi target utama untuk dimusnahkan. Baik Syeh Siti Jenar maupun Ki Ageng Pengging gugur karena korban kepicikan.

Dan, nama Ki Ageng Pengging dan Syeh Siti Jenar dibuat hitam. Sampai sekarang, nama keduanya masih terus dihakimi sebagai dua orang yang sesat dikalangan Islam. Namun bagaimanapun juga, keharuman nama keduanya tetap terjaga dikisi-kisi hati tersembunyi masyarakat Jawa, walaupun tidak ada yang berani menyatakan kekagumannya secara terang-terangan. Ironis.

Dari Ki Ageng Pengging inilah, lahir seorang tokoh terkenal di Jawa. Yaitu Mas Karebat atau Jaka Tngkir. Dan kelak menjadi Sultan Pajang setelah Demak hancur dengan gelar Sultan Adiwijaya.

Keturunan di Tarub

Dikisahkan secara vulgar, suatu ketika Prabhu Brawijaya terserang penyakit Rajasinga atau syphilis. Para Tabib Istana sudah bekerja keras berusaha menyembuhkan beliau, tapi penyakit beliau tetap membandel.

Atas inisiatif beliau sendiri, setiap malam beliau tidur diarel Pura Keraton. Memohon kepada Mahadewa agar diberi kesembuhan. Dan konon, setelah beberapa malam beliau memohon, suatu malam, beliau mendapat petunjuk sangat jelas.

Dalam keheningan meditasinya, lamat-lamat beliau ‘mendengar’ suara.

“Jika engkau ingin sembuh, nikahilah seorang pelayan wanita berdarah Wandhan. Dan, inilah kali terakhir engkau boleh menikah lagi.”

Mendapat ‘wisik’ yang sangat jelas seperti itu, Prabhu Brawijaya termangu-mangu. Dan beliau teringat, di Istana ada beberapa pelayan Istana yang berasal dari daerah Wandhan (Bandha Niera, didaerah Sulawesi).

Keesokan harinya, beliau memanggil para pelayan istana dari daerah Wandhan. Beliau memilih yang paling cantik. Ada seorang pelayan dari Wandhan, bernama Dewi Bondrit Cemara, sangat cantik. Diambillah dia sebagai istri selir. Dikemudian hari, Dewi Bondrit Cemara dikenal dengan nama Dewi Wandhan Kuning.

Begitu menikahi Dewi Wandhan Kuning, dan setelah melakukan senggama beberapa kali, penyakit Sang Prabhu berangsur-angsur sembuh.

Namun Sang Prabhu merasa perkawinannya dengan Dewi Wandhan Kuning harus dirahasiakan. Karena apabila kabar ini terdengar sampai ke daerah Wandhan, pasti para bangsawan Sulawesi merasa terhina oleh sebab Sang Prabhu bukannya mengambil salah seorang putri bangsawan Wandhan, tapi malah mengambil seorang pelayan.

Dewi Wandhan Kuning mengandung, hingga akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki, putra ini lantas dititipkan kepada Kepala Urusan Sawah Istana, Ki Juru Tani. ( Waktu itu, Istana memiliki areal pesawahan khusus yang hasilnya untuk dikonsumsi oleh seluruh kerabat Istana.)

Anak ini diberi nama Raden Bondhan Kejawen (Bondhan perubahan dari kata Wandhan. Kejawen berarti yang telah berdarah Jawa).

Raden Bondhan Kejawen dibesarkan oleh Ki Juru Tani. Dan manakala sudah berangsur dewasa, atas perintah Sang Prabhu, Raden Bondhan Kejawen dikirimkan kepada Ki Ageng Tarub, seorang Pandhita Shiva yang memiliki Ashrama di daerah Tarub ( sekitar Purwodadi, Jawa Tengah sekarang.)

Jika anda pernah mendengar legenda Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan, maka inilah dia. Jaka Tarub yang konon mencuri selendang bidadari Dewi Nawangwulan dan lantas ditinggal oleh sang bidadari setelah sekian lama menjadi istri beliau karena ketahuan bahwa yang menyembunyikan selendang itu adalah Jaka Tarub sendiri. ( Saya tidak akan membedah simbolisasi legenda ini disini, karena tidak sesuai dengan topic yang saya bahas : Damar Shashangka).

Jaka Tarub inilah yang lantas dikenal dengan nama Ki Ageng Tarub. Menginjak dewasa, Raden Bondhan Kejawen dinikahkan dengan Dewi Nawangsih, putri tunggal Ki Ageng Tarub. Dan kelak Raden Bondhan Kejawen bergelar Ki Ageng Tarub II.

Dari hasil perkawinan Raden Bondhan Kejawen dengan Dewi Nawangsih, lahirlah Raden Getas Pandhawa. Dari Raden Getas Pandhawa, lahirlah Ki Ageng Sela yang hidup sejaman dengan Sultan Trenggana, Sultan Demak ketiga. Ki Ageng Sela inilah tokoh yang konon bisa memegang petir sehingga menggegerkan seluruh Kesultanan Demak (simbolisasi lagi, kapan-kapan saya ulas : Damar Shashangka).

Sampai sekarang nama Ki Ageng Sela terkenal di tengah masyarakat Jawa. Ki Ageng Sela inilah keturunan Tarub yang mulai beralih memeluk Islam. Beliau berguru kepada Sunan Kalijaga. Perpindahan agama ini berjalan dengan damai. Nama Islam beliau adalah Ki Ageng Abdul Rahman.

Dari Ki Ageng Sela, lahirlah Ki Ageng Mangenis Sela. Dari Ki Ageng Mangenis Sela, lahirlah Ki Ageng Pamanahan. Dan dari Ki Ageng Pamanahan lahirlah Panembahan Senopati Ing Ngalaga, tokoh terkenal pendiri dinasti Mataram Islam dikemudian hari. [Panembahan Senopati Ing Ngalaga Mataram inilah leluhur Para Sultan Kasultanan Jogjakarta, Para Sunan Kasunanan Surakarta (Solo), Pakualaman dan Mangkunegaran sekarang].

Peng-Islam-an keturunan Raden Bondhan Kejawen, berlangsung dengan damai.

Raden Patah.

Ingat putri China Tan Eng Kian yang dinikahi Adipati Arya Damar di Palembang?

Dari hasil pernikahan dengan Prabhu Brawijaya, Tan Eng Kian memiliki seorang putra bernama Tan Eng Hwat. Dikenal juga dengan nama muslim Raden Hassan. Dari perkawinan Tan Eng Kian dengan Arya Damar sendiri, lahirlah seorang putra bernama Kin Shan, dikenal dengan nama muslim Raden Hussein.

Sejak kecil, Raden Hassan dan Raden Hussein dididik secara Islam oleh ayahnya Arya Damar. Menjelang dewasa, Raden Hassan memohon ijin kepada ibunya untuk pergi ke Jawa. Dia berkeinginan untuk bertemu dengan ayah kandungnya, Prabhu Brawijaya.

Tan Eng Kian tidak bisa menghalangi keinginan putranya. Dari Palembang, Raden Hassan bertolak ke Jawa. Sampailah ia di pelabuhan Gresik yang ramai. Melihat keadaan Gresik yang hiruk-pikuk, Raden Hassan kagum. Dia bisa membayangkan bagaimana besarnya kekuasaan Majapahit. Menilik di Gresik banyak orang muslim, Raden Hassan tertarik.

Dan dengar-dengar, ada Pesantren besar disana. Pesantren Giri. Raden Hassan memutuskan untuk bertandang ke Giri. Bertemulah dia dengan Sunan Giri. Sunan Giri senang melihat kedatangan Raden Hassan setelah mengetahui dia adalah putra Prabhu Brawijaya yang lahir di Palembang. Sunan Giri seketika melihat sebuah peluang besar.

Di Giri, Raden Hassan memperdalam ke-Islaman-nya. Disana, Raden Hassan mulai tertarik dengan ide-ide ke-Khalifah-an Islam. Dan militansi Raden Hassan mulaiterbentuk.Ada kesepakatan pemahaman antara Raden Hassan dengan Sunan Giri.

Dari Sunan Giri, Raden Hassan memperoleh ide untuk meminta daerah otonomi khusus kepada ayahnya, Prabhu Brawijaya. Bila disetujui, hendaknya Raden Patah memilih daerah di pesisir Jawa bagian tengah. Jika itu terwujud, keberadaan daerah otonomi didaerah pesisir utara Jawa bagian tengah, akan menjadi penghubung pergerakan militant Islam dari Jawa Timur dan Jawa Barat di Cirebon.

Cirebon, kini tumbuh pesat sebagai pusat kegiatan Islam dibawah pimpinan Pangeran Cakrabhuwana, putra kandung Prabhu Siliwangi, Raja Pajajaran. (Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah belum datang dari Mesir ke Cirebon. Dia datang pada tahun 1475 Masehi. Pada bagian selanjutnya akan saya ceritakan : Damar Shashangka).

Setelah dirasa cukup, Raden Hassan melanjutkan perjalanan ke Pesantren Ampel dengan diiringi beberapa santri Sunan Giri. Disana dia disambut suka cita oleh Sunan Ampel. Disana, dia diberi nama baru oleh Sunan Ampel, yaitu Raden Abdul Fattah yang lantas dikenal masyarakat Jawa dengan nama Raden Patah.

Selesai bertandang di Ampel, Raden Hassan yang kini dikenal dengan nama Raden Patah melanjutkan perjalanan ke ibu kota Negara Majapahit. Dia yang semula hanya berniat untuk bertemu dengan ayahnya, sekarang dia telah membawa misi tertentu.

Betapa suka cita Prabhu Brawijaya mendapati putra kandungnya telah tumbuh dewasa. Dan manakala, Raden Patah memohon anugerah untuk diberikan daerah otonom, Prabhu Brawijaya mengabulkannya. Raden Patah meminta daerah pesisir utara Jawa bagian tengah. Dia memilih daerah yang dikenal dengan nama Glagah Wangi.

Prabhu Brawijaya menyetujui permintaan Raden Patah. Dia mendanai segala keperluan untuk membangun daerah baru. Raden Patah, dengan disokong tenaga dan dana dari Majapahit, berangkat ke Jawa Tengah. Di daerah pesisir utara, didaerah yang dipenuhi tumbuhan pohon Glagah, dia membentuk pusat pemerintahan Kadipaten baru. Begitu pusat Kadipaten dibentuk, dinamailah tempat itu Demak Bintara. Dan Raden Patah, dikukuhkan oleh Sang Prabhu Brawijaya sebagai penguasa wilayah otonom Islam baru disana.

Demak Bintara berkembang pesat. Selain menjadi pusat kegiatan politik, Demak Bintara juga menjadi pusat kegiatan keagamaan. Demak Bintara menjadi jembatan penghubung antara barat dan timur pesisir utara Jawa.

Dipesisir utara Jawa, gerakan-gerakan militant Islam mulai menguat. Sayang, fenomena itu tetap dipandang sepele oleh Prabhu Brawijaya. Beliau tetap yakin, dominasi Majapahit masih mampu mengontrol semuanya. Padahal para pejabat daerah yang dekat dengan pesisir utara sudah melaporkan adanya kegiatan-kegiatan yang mencurigakan. Pasukan Telik Sandhibaya telah memberikan laporan serius tentang adanya kegiatan yang patut dicurigai akan mengancam kedaulatan Majapahit.

Tak lama berselang, Raden Hussein, putra Tan Eng Kian dengan Arya Damar, menyusul ke Majapahit. Dia mengabdikan diri sebagai tentara di Majapahit. Raden Hussein tidak terpengaruh ide-ide pendirian ke-Khalifah-an Islam. Dia diangkat sebagai Adipati didaerah Terung ( Sidoarjo, sekarang ) dengan gelar, Adipati Pecattandha.

Kebaikan Prabhu Brawijaya sangat besar sebenarnya. Tapi kebaikan yang tidak disertai kebijaksanaan bukanlah kebaikan. Dan hal ini pasti akan menuai masalah dikemudian hari. Bibit-bibit itu mulai muncul, tinggal menunggu waktu untuk pecah kepermukaan.

Dan Prabhu Brawijaya tidak akan pernah menyangkanya.

RUNTUHNYA MAJAPAHIT

Mendekati detik-detik pemberontakan

Demak Bintara berkembang pesat. Tempat ini dirasa strategis untuk pengembangan militansi Islam karena letaknya agak jauh dari pusat kekuasaan. Di Demak Bintara, para ulama-ulama Putihan sering mengadakan pertemuan. Jadilah Demak Bintara dikenal sebagai Kota Seribu Wali.

Ditambah pada tahun 1475 Masehi, seorang ulama berdarah Mesir-Sunda datang dari Mesir. Dia adalah Syarif Hidayatullah. Dia datang bersama ibunya Syarifah Muda’im. Syarifah Muda’im adalah putri Pajajaran. Putri dari Prabhu Silihwangi penguasa Kerajaan Pejajaran. (Hanya Kerajaan ini yang tidak masuk wilayah Majapahit. Walau kecil, Pajajaran terkenal kuat. Anda bisa membayangkan adanya Timor Leste sekarang. Seperti itulah keadaan Majapahit dan Pajajaran. : Damar Shashangka).


Nama asli Syarifah Muda’im adalah Dewi Rara Santang. Dia bersama kakaknya Pangeran Walangsungsang, tertarik mempelajari Islam. Ketika berada di Makkah, Dewi Rara Santang dipinang oleh bangsawan Mesir, Syarif Abdullah. Menikahlah Dewi Rara Santang dengan bangsawan ini. Dan namanya berganti Syarifah Muda’im. Dari pernikahan ini, lahirlah Syarif Hidayatullah.

Pangeran Walang Sungsang, mendirikan daerah hunian baru di pesisir utara Jawa barat. Dikenal kemudian dengan nama Tegal Alang-Alang. Lantas berubah menjadi Caruban. Berubah lagi menjadi Caruban Larang. Pada akhirnya, dikenal dengan nama Cirebon sampai sekarang.

Pangeran Walang Sungsang, dikenal kemudian dengan nama Pangeran Cakrabhuwana. Oleh ayahandanya, Prabhu Silihwangi diberikan gelar kehormatan Shri Manggana.

Syarif Hidayatullah, keponakan Pangeran Cakrabhuwana lantas dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati.

Awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat. Sunan Giri terpilih sebagai penggantinya. Pusat Majelis Ulama Jawa kini berpindah ke Giri Kedhaton. Dan, pada waktu inilah tragedi Syeh Siti Jenar terjadi. Syeh Siti Jenar dipanggil ke Giri Kedhaton dan disidang oleh Dewan Wali Sangha dibawah pimpinan Sunan Giri. Walau tidak mengakui keberadaan Majelis Ulama Jawa, beliau tetap hadir. Beliau dituduh telah menyebarkan aliran sesat. Adapula yang menuduh sebagai antek-antek Syi’ah. Ada juga yang mengatakan beliau ahli sihir, dan lain sebagainya. (Akan saya buat catatan tersendiri tentang beliau : Damar Shashangka).


Pada sidang pertama para ulama yang tergabung dalam Dewan Wali Sangha tidak bisa menemukan kesalahan Syeh Siti Jenar. Sehingga, beliau lantas dibebaskan dari segala tuduhan. Namun bagaimanapun juga, Syeh Siti Jenar adalah duri didalam daging bagi mereka. Maka sejak saat itu, kesalahan-kesalahan beliau senantiasa dicari-cari.

Konsentrasi Dewan Wali Sangha terpecah pada rencana perebutan kekuasaan. Melalui serangkaian musyawarah yang pelik, maka disimpulkan, kekuatan militansi Islam sudah cukup siap untuk mengadakan perebutan kekuasaan. Raden Patah, Adipati Demak Bintara, terpilih secara mutlak sebagai pemimpin gerakan.

Kubu Abangan, tidak menghadiri musyawarah ini. Apalagi semenjak Dewan Wali Sangha atau Majelis Ulama Jawa dipegang Sunan Giri, hubungan kubu Putihan dan kubu Abangan kian meruncing.

Sunan Kalijaga dan para pengikutnya hanya mau membantu Dewan Wali Sangha merampungkan pembangunan Masjid Demak. Selebihnya, mereka tidak ikut campur.

Persiapan sudah matang. Tinggal memilih hari yang ditentukan. Pasukan Telik Sandhibaya ( Intelejen ) Majapahit mengendus rencana ini. Prabhu Brawijaya mendapat laporan para pasukan Intelejen yang ada disekitar Demak Bintara. Sayangnya, beliau tidak begitu mempercayainya. Beliau berkeyakinan, tidak mungkin Raden Patah, putra kandungnya sendiri akan nekad berbuat seperti itu. Prabhu Brawijaya tidak memahami betapa militant-nya orang yang sudah terdoktrin!

Dan manakala pergerakan pasukan besar-besaran terdengar, yaitu pasukan orang-orang Islam Putihan, gabungan dari seluruh lasykar yang ada di wilayah pesisir utara Jawa timur sampai Jawa barat mulai bergerak. Keadaan menjadi gempar! Para Pejabat daerah kalang kabut. Mereka tidak menyangka orang-orang Islam sedemikian banyaknya.

Setiap daerah yang dilalui pasukan ini, tidak ada yang bisa membendung. Kekuatan mereka cukup besar. Persiapan mereka cukup tertata. Sedangkan daerah-daerah yang dilalui, tidak mempunyai persiapan sama sekali. Daerah perdaerah yang dilewati, harus melawan sendiri-sendiri. Tidak ada penyatuan pasukan dari daerah satu dengan daerah lain. Semua serba mendadak. Dan tak ada pilihan lain kecuali melawan atau mundur teratur.

Gerakan pasukan ini cukup kuat. Para Adipati yang berhasil mundur segera melarikan diri ke ibu kota Negara. Mereka melaporkan agresi mendadak pasukan pesisir yang terdiri dari orang-orang Islam itu.

Dan dari mereka, Prabhu Brawijaya mendapat laporan yang mencengangkan, yaitu telah terjadi pergerakan pasukan dari Demak Bintara. Pasukan berpakaian putih-putih. Berbendera tulisan asing! Berteriak-teriak dengan bahasa yang tidak dimengerti! Pasukan ini dapat dipastikan adalah pasukan orang-orang Islam. Dan kini, tengah bergerak menuju ibu kota Negara Majapahit.

Percaya tidak percaya Prabhu Brawijaya mendengarnya. Laporan pasukan Telik Sandhibaya selama ini telah menjadi kenyataan.. Namun, Prabhu Brawijaya tetap tidak bisa mengerti, mana mungkin Raden Patah berbuat seperti itu. Mana mungkin orang-orang Islam berani dan tega mengadalan pemberontakan. Selama ini, Majapahit telah memberikan bantuan material yang tidak sedikit bagi mereka. Sesak! Dada Prabhu Brawijaya seketika serasa sesak bagai dihantam palu! Bergemuruh mendidih! Beliau menyebut Nama Mahadeva berkali-kali.

Seluruh pembesar Majapahit tegang. Mereka menantikan komando Sang Prabhu. Waktu berjalan cepat. Sang Prabhu masih belum mengeluarkan titah apapun. Pergerakan pasukan sudah memasuki Madiun, sebentar lagi mencapai wilayah Kadhiri, sudah teramat dekat dengan ibu kota Negara. Pertempuran-pertempuran penghadangan telah terjadi secara otomatis. Dan semua telah masuk menjadi laporan bagi Sang Prabhu.

Bahkan ada laporan yang menyatakan, beberapa daerah yang terpengaruh Islam, malah ikut bergabung dengan pasukan ini.

Adipati Kertosono ( wilayah Kediri sekarang ) mengirinkan utusan khusus kepada Sang Prabhu untuk segera mengeluarkan perintah perang!

Sang Prabhu masih termangu-mangu. Dan manakala terdengar Adipati Kertosono melakukan perlawanan mati-matian tanpa menunggu komando beliau, barulah Sang Prabhu tersadar! Segera beliau memerintahkan seluruh pasukan Majapahit untuk mempersiapkan sebuah perang besar!

Para Panglima yang telah menanti-nantikan perintah ini menyambut dengan suka cita! Inilah yang mereka nanti-nantikan! Tanpa menunggu waktu lama, seluruh kekuatan Majapahit segera dipersiapkan.

Pasukan Majapahit telah siap sedia menyambut kedatangan pasukan Demak Bintara. Dan sekali lagi, mereka tinggal menunggu perintah untuk MENYERANG!

Dan komando terakhir inipun tidak segera keluar. Pasukan Majapahit resah. Para Panglima cemas. Para kepala pasukan tempur digaris depan terus mendesak kepada Para Panglima masing-masing agar segera mengeluarkan perintah penyerangan!

Para Panglima juga mendesak Sang Senopati Agung, meminta kepada Prabhu Brawijaya untuk segera memberikan komando terakhir. Perlu dicatat, salah satu panglima yang memperkuat barisan Majapahit adalah Adipati Terung, adik tiri Raden Patah.

Dalam hatinya bertanya-tanya, ada apakah dengan kakak tirinya sehingga mengadakan gerakan makar sedemikian rupa? Selama ini, dia tidak melihat ada yang salah dengan pemerintahan Prabhu Brawijaya. Tidak ada diskriminasi dalam hal keagamaan. Dirinya yang muslim-pun, bisa bebas menjalankan ibadah agamanya. Bahkan, bisa dipercaya menjabat sebagai seorang Adipati, yang notabene bukan jabatan main-main.

Adipati Terung tidak bisa memahami pola pikir kakak tirinya.

Dan perintah penyerangan tidak juga segera turun. Seluruh pasukan yang sudah bersiap sedia dibarak masing-masing, dilanda ketegangan yang luar biasa!

Di Istana, Para Mantri resah. Melihat situasi ini, Sabdo Palon dan Naya Genggong meminta Sang Prabhu untuk segera mengeluarkan perintah. Namun apa jawaban Sang Prabhu? Beliau masih tidak yakin pasukan Demak akan tega menyerang ibu kota Negara Majapahit. Sabdo Palon dan Naga Genggong menandaskan, cara berfikir Raden Patah dan para pasukan ini sudah lain. Sang Prabhu tidak akan bisa memahaminya. Jalan satu-satunya sekarang adalah, menghadapi mereka secara frontal. Pada saat ini, tidak ada cara lain.

Dan manakala kabar terdengar pasukan Demak telah merangsak maju dan memasuki pinggiran ibu kota Majapahit, dan disana mereka mengadakan perusakan hebat. Dengan sangat terpaksa, Sang Prabhu mengeluarkan perintah penyerangan! Tapi, perintah itu sebenarnya telah terlambat!

Begitu keluar perintah penyerangan, ada hal yang tidak terduga, pasukan Ponorogo dan beberapa daerah yang lain membelot! Diketahui kemudian ternyata mereka adalah pasukan dari daerah-daerah yang sudah muslim.

Dan, peperangan pecah sudah!

Peperangan yang besar. Darah tertumpah lagi! Senopati Demak dipimpin oleh Sunan Ngundung. Dan dipihak Majapahit, Senopati dipegang oleh Arya Lembu Pangarsa. Prajurid Majapahit mengamuk dimedan laga. Para prajurid yang sudah berpengalaman tempur ini dan disegani diseluruh Nusantara, sekarang tidak main-main lagi! Adipati Sengguruh, Raden Bondhan Kejawen yang masih belia, Adipati Terung, Adipati Singosari dan yang lain ikut mengamuk dimedan laga!

Sayang, banyak kesatuan-kesatuan Majapahit yang berasal dari daerah muslim, membelot. Namun, pada hari pertama, pasukan Demak Bintara terpukul mundur!

Pada hari kedua, pasukan Demak terpukul lebih telak. Senopati Demak, Sunan Ngundung tewas! (Makamnya masih ada di Trowulan, Mojokerto sampai sekarang.) Pasukan Demak mengundurkan diri. Pasukan cadangan masuk dipimpin oleh putra Sunan Ngundung, Sunan Kudus. Pertempuran kembali pecah!

Namun bagaimanapun juga, pasukan Demak harus mengakui kekuatan pasukan Majapahit. Mereka terpukul mundur keluar dari ibu kota Negara. Kehebatan pasukan Majapahit yang terkenal itu, ternyata terbukti!

Pasukan Demak bertahan. Beberapa minggu kemudian, datang pasukan dari Palembang bergabung dengan pasukan Majapahit. Pasukan Majapahit seolah mendapat suntikan darah segar. Namun ternyata, bergabungnya pasukan Palembang ini hanyalah bagian dari siasat dari orang-orang Demak.

Pasukan Palembang, diam-diam memusnahkan seluruh persediaan bahan makanan tentara Majapahit. Lumbung-lumbung besar dibakar! Semua persediaan bahan pangan ludes! ( Inilah simbolisasi dari didatangkannya peti ajaib milik Adipati Arya Damar dari Palembang yang apabila dibuka, mampu mengeluarkan beribu-ribu tikus dan memakan seluruh beras dan bahan pangan tentara Majapahit. : Damar Shashangka).

Majapahit kebobolan luar dalam. Majapahit benar-benar tidak pernah menyangka akan hal itu. Begitu persediaan bahan pangan menipis, dari hari kehari, pelan namun pasti, pasukan Majapahit terpukul mundur!

Mendengar pasukan Majapahit terdesak, Kepala Pasukan Bhayangkara, yaitu Pasukan Khusus Pengawal Raja, segera mengamankan Prabhu Brawijaya. Keadaan sudah sedemikian genting dan Sang Prabhu, mau tidak mau, harus segera meloloskan diri. Ini harus dilakukan secepatnya, karena untuk menyatukan kembali kekuatan tentara Majapahit kelak, sosok Prabhu Brawijaya, masih dibutuhkan!

Dengan dikawal Pasukan Bhayangkara, Prabhu Brawijaya segera keluar dari Istana. Pasukan Bhayangkara memutuskan agar Sang Prabhu menyelamatkan diri ke Pulau Bali. Pulau yang kondusif untuk saat ini.

Ditengah kekacauan itu, Dewi Anarawati, diam-diam dibawa oleh pasukan Islam ke Gresik. Putra bungsu Dewi Anarawati, Raden Gugur yang masih kecil, diselamatkan oleh pasukan Ponorogo dan dibawa ke Kadipaten Ponorogo.

Dan pada akhirnya, Majapahit bisa dijebol. Seluruh Istana dirusak dan dibakar!. Perusakan terjadi dimana-mana. (Maka jangan heran, sampai sekarang bekas Istana Majapahit yang terkenal di Nusantara itu, musnah tak berbekas. : Damar Shashangka).

Dan pada akhirnya, terjadilah tragedi kemanusiaan yang sampai sekarang ‘ditutupi’. Perang yang semula melibatkan dua kekuatan militer Majapahit dan Demak, kini merembet menjadi perang sipil. Mereka yang merasa diatas angin, kini menjadi sosok malaikat maut. Pertumpahan darah terjadi. Masyarakat Majapahit yang masih memegang keyakinan lama, berhadapan secara frontal dengan mereka yang telah berpindah keyakinan.

Dimana-mana, situasi anarkhis terjadi. Dimana-mana dua kubu ini bentrok. Dimana-mana kekacauan merajalela. Jawa dalam situasi chaos! Ibu pertiwi menangis. Ibu pertiwi terluka. Putra-putranya kini tengah saling menumpahkan darah hanya karena disalah satu pihak tengah dilanda ‘ketidak sadaran’.

Akibat tragedi yang mencerabut segala sendi-sendi masyarakat Majapahit ini, bangunan-bangunan indah dari Kerajaan Agung Majapahit, musnah tak berbekas! Majapahit yang terkenal sebagai Macan Asia, ludes dibabat habis. Di Jawa Timur, Majapahit seolah-olah hanya sebuah mitos belaka, karena banyak peninggalan dari jaman keemasan Nusantara ini, hancur karena kepicikan.

Hanya sedikit yang tersisa. Dan yang sedikit itulah yang masih bisa kita saksikan hingga sekarang.

Eksodus besar-besaran terjadi. Para Agamawan, Para Bangsawan dan rakyat yang tetap memegang teguh keyakinannya, menyingkir ketempat-tempat yang dirasa aman. Kebanyakan menyeberang ke Bali, Kalimantan dan Lombok.

Ada seorang putri selir Prabhu Brawijaya yang melarikan diri bersama sisa-sisa prajurid Majapahit dan beberapa penduduk. Dia bernama Dewi Rara Anteng. Bersama suaminya Raden Jaka Seger, dia menyingkir ke pegunungan Bromo. Sampai sekarang keturunan mereka masih ada disana, dikenal dengan nama suku Tengger. Diambil dari nama Dewi Rara An-TENG dan Raden Jaka Se-GER. Diwilayah pegunungan Bromo, pasukan Demak memang tidak bisa menjangkau. Medannya cukup sulit dan terisolir. (Suku Tengger baru membuka diri pada jaman pemerintahan Presiden Soekarno. Ketika disensus dan ditanyakan apa agama mereka, mereka menyatakan beragama Budo. Padahal ritual yang mereka jalankan lebih dekat ke agama Hindhu dari pada agama Buddha. Para petugas sensus tidak tahu, istilah Hindhu memang tidak dikenal pada jaman Majapahit. Yang terkenal adalah agomo Siwo Budo atau hanya disebut wong Budo saja. : Damar Shashangka).

Dengan dikawal oleh Pasukan Bhayangkara dan beberapa kesatuan pasukan yang tersisa, Prabhu Brawijaya menyingkir ke arah timur. Dan untuk sementara, beliau tinggal di Blambangan. Adipati Blambangan, memperkuat barisan pasukan ini. Dan tak hanya itu, para penduduk Blambangan-pun dengan suka rela ikut menggabungkan diri. Mereka benar-benar melindungi Prabhu Brawijaya ekstra ketat. Mereka siap tempur di Blambangan. Keadaan darurat diberlakukan.

Selama ada di Blambangan, Prabhu Brawijaya terus terusik batinnya. Raden Patah, yang biasa beliau banggil dengan nama Patah itu, ternyata telah tega melakukan ini semua. Kebaikan beliau selama ini dibalas dengan racun. Sabdo Palon dan Naya Genggong menabahkan hati Sang Prabhu. Nasi sudah menjadi bubur. Tidak patut disesali lagi.

Kini, saatnya untuk menata kembali yang tersisa. Dan untuk tujuan itu, Prabhu Brawijaya harus menyeberang ke Pulau Bali.

RUNTUHNYA MAJAPAHIT

Sirna Ilang Kerthaning Bhumi

Atas perintah Raden Patah, Senopati Demak Bintara Sunan Kudus menemui Adipati Terung, adik kandung Raden Patah dengan membawa pasukan Demak Bintara. Adipati Terung di ultimatum agar menyerah, atau dihancurkan. Adipati Terung dalam dilema. Pada akhirnya, dia menyatakan ‘menyerah’ kepada Demak Bintara.

Beberapa minggu kemudian, Raden Patah datang dari Demak untuk melihat langsung kemenangan pasukannya. Raden Patah meminta semua laporan dari kepala pasukan Demak. Diketahui kemudian, Prabhu Brawijaya berhasil meloloskan diri. Pasukan Bhayangkara Majapahit atau Pasukan Khusus Pengawal Raja, memang terkenal lihai melindungi junjungan mereka. Tak ada satupun kepala pasukan Demak yang mengetahui bagaimana Pasukan Bhayangkara bisa menerobos kepungan rapat Pasukan Islam dan kearah mana mereka membawa Sang Prabhu pergi.

Raden Patah segera menyebar pasukan mata-mata untuk melacak keberadaan Sang Prabhu. Dan Raden Patah sendiri segera melanjutkan perjalanan untuk bertandang ke Pesantren Ampel di Surabaya. Dia hendak mengabarkan kemenangan besar ini kepada janda Sunan Ampel.

Di Surabaya situasi anarkhis-pun merajalela. Nyi Ageng Ampel, begitu mendengar laporan Raden Patah, marah! Dengan tegas beliau menyatakan, apa yang dilakukan Raden Patah adalah sebuah kesalahan besar. Dia telah berani melanggar wasiat gurunya sendiri, Sunan Ampel, yang mewasiatkan sebelum beliau wafat, melarang orang-orang Islam merebut tahta Majapahit. Dan juga, Raden Patah telah berani melawan seorang Imam yang sah, seorang Umaro’ tidak seharusnya dilawan tanpa ada alasan yang jelas. Dan yang ketiga, Raden Patah telah berani durhaka kepada ayah kandungnya sendiri yang telah melimpahkan segala kebaikan bagi dirinya serta orang-orang Islam.

Nyi Ageng Ampel menangis. Raden Patah terketuk hati nuraninya, dia ikut mencucurkan air mata. Didepan Nyi Ageng Ampel, Raden Patah mencium kaki beliau, menangis, menyesali perbuatannya.

Dengan berurai air mata, Raden Patah meminta solusi kepada Nyi Ageng Ampel. Dan Nyi Ageng Ampel memerintahkan kepadanya untuk segera mencari keberadaan Prabhu Brawijaya. Dan apabila sudah diketemukan, seyogyanya, Prabhu Brawijaya dikukuhkan kembali sebagai seorang Raja.

Mendengar perintah itu, secara emosional Raden Patah berniat mencari ayahandanya sendiri bersama beberapa orang prajurid Demak. Tapi Nyi Ageng Ampel mencegahnya. Dalam situasi anarkhis seperti ini, tidak memungkinkan bagi dia untuk mencari beliau sendiri. Dikhawatirkan, akan terjadi kesalah pahaman. Dan sekarang, dimata Prabhu Brawijaya, dirinya dan seluruh umat Islam yang menyokong pergerakan pasukan Demak, tidak mungkin dipercaya lagi.

Jalan keluar yang terbaik adalah, meminta bantuan Sunan Kalijaga atau Syeh Siti Jenar untuk mewakili dirinya, mencari Prabhu Brawijaya dan apabila sudah bisa ditemukan, memohon kepada Prabhu Brawijaya agar kembali ke Majapahit. Sudah bukan rahasia lagi dikalangan Istana, dua ulama besar ini tidak terlibat dalam penyerangan Majapahit.

Karena Syeh Siti Jenar, baru saja disidang oleh Dewan Wali Sangha yang mengakibatkan hubungan beliau dengan Para Wali sekaligus dengan Raden Patah dalam situasi yang tidak mengenakkan, maka Raden Patah memutuskan untuk mengirim pasukan khusus menemui Sunan Kalijaga.

Sunan Kalijaga, dimohon menghadap ke Pesantren Ampel atas permintaan Nyi Ageng Ampel dan Raden Patah.

Beberapa hari kemudian, Sunan Kalijaga datang ke Surabaya. Beliau waktu itu berada di Demak Bintara, memfokuskan diri memimpin pembangunan Masjid Demak.

Sunan Kalijaga, Nyi Ageng Ampel dan Raden Patah, terlibat perundingan yang serius. Dan pada akhirnya, Sunan Kalijaga menyetujui untuk mengemban tugas mulia itu.

Beberapa hari kemudian, laporan dari pasukan mata-mata Demak Bintara diterima Raden Patah. Diketahui, ada konsentrasi besar pasukan Majapahit diwilayah Blambangan. Diketahui pula, Prabhu Brawijaya ada disana. Ada kabar terpetik, Prabhu Brawijaya hendak menyeberang ke pulau Bali.

Mendapati informasi yang dapat dipercaya seperti itu, Sunan Kalijaga, diiringi beberapa santrinya, segera berangkat ke Blambangan. Dia siap mengambil segala resiko yang bakal terjadi. Dengan memakai pakaian rakyat sipil yang tidak mencolok mata, demi untuk menghindari kesalah pahaman, dia berangkat. Disetiap daerah yang dilalui, Sunan Kalijaga beserta rombongan melihat pemandangan yang memilukan. Kekacauaan ada dimana-mana. Penduduk yang masih memegang keyakinan lama, bentrok dengan penduduk yang sudah mengganti keyakinannya.Korban berjatuhan. Nyawa melayang karena kepicikan.

Rombongan ini harus pandai-pandai memilih jalan. Kadangkala memutar kalau dirasa perlu. Mereka sengaja menghindari tempat keramaian. Mereka lebih memilih menerobos hutan belantara demi menjaga keamanan.

Dan, manakala mereka sudah tiba di Blambangan, Sunan Kalijaga, menunjukkan statusnya. Dengan mengibarkan bendera putih tanda gencatan senjata, dia memasuki kota Blambangan yang mencekam.

Para prajurid Majapahit terkejut melihat ada serombongan kecil orang-orang muslim memasuki kota Blambangan. Mereka mengibarkan bendera putih. Mereka bukan tentara. Mereka tidak bersenjata. Serta merta, kedatangan mereka dihadang oleh pasukan Majapahit. Dan mereka tidak diperkenankan memasuki kota. Prajurid Majapahit, siap tempur.

Namun, Sunan Kalijaga menunjukkan siapa dirinya. Dia meminta kepada kepala prajurid agar menyampaikan pesan kepada Prabhu Brawijaya, bahwasanya dia, Raden Sahid atau Sunan Kalijaga, datang sebagai duta dan memohon menghadap.

Ketegangan terjadi. Rombongan kecil ini diujung tanduk. Nyawa mereka terancam. Namun mereka yakin, prajurid Majapahit bisa membedakan, mana musuh dalam medan laga dan mana musuh dalam status duta. Mereka tidak akan berani mencelakai seorang duta.

Ketegangan sedikit mencair manakala ada pesan dari Sang Prabhu yang mengabulkan permohonan Sunan Kalijaga untuk menghadap kepada beliau. Prabhu Brawijaya tahu bagaimana menghormati seorang duta. Prabhu Brawijaya-pun tahu dari laporan para pasukan Sandhi (Intelejen) bahwa Sunan Kalijaga bersama para pengikutnya, tidak ikut melakukan penyerangan ke Majapahit.

Sunan Kalijaga beserta rombongan bisa bernafas lega. Mereka segera menghadap Prabhu Brawijaya dengan pengawalan yang sangat ketat sekali. Sembari memegang persenjataan lengkap dan siap digunakan, para prajurid Bhayangkara menyambut kedatangan Sunan Kalijaga. Mereka mengapitnya. Sunan Kalijaga diperkenankan masuk. Beberapa santrinya disuruh menunggu diluar.

Prabhu Brawijaya, didampingi para penasehat beliau yang terdiri dari para Pandhita Shiva dan Wiku Buddha, juga Sabdo Palon dan Naya Genggong, nampak telah menunggu kedatangan Sunan Kalijaga. Begitu ada dihadapan Sang Prabhu, Sunan Kalijaga menghaturkan hormat.

Prabhu Brawijaya menanyakan maksud kedatangan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga mengatakan bahwa dia adalah duta Raden Patah sekaligus Nyi Ageng Ampel. Sunan Kalijaga menceritakan segalanya dari awal hingga akhir. Bahkan dia menceritakan pula kondisi Majapahit. Prabhu Brawijaya meneteskan air mata mendengar banyak penduduk yang harus meregang nyawa karena kepicikan, mendengar Keraton megah kebanggaan Nusantara dibumi hanguskan, mendengar tempat-tempat suci hancur rata dengan tanah.

Seluruh yang hadir merasa sedih, marah, geram, semua bercampur aduk menjadi satu.

Dan manakala Sunan Kalijaga mengahturkan tujuan sebenarnya dia menjadi duta, yaitu agar Prabhu Brawijaya berkenan kembali memegang tampuk pemerintahan di Majapahit, seketika ssemua yang hadir memincingkan mata.Seolah mendengarkan kalimat yang tidak bisa dicerna.

Prabhu Brawijaya tercenung. Beliau meminta nasehat. Beberapa penasehat mengusulkan agar hal itu tidak dilakukan, karena sama saja menerima suatu penghinaan. Dinasti Majapahit, bisa kembali berkuasa hanya karena kebaikan hati orang-orang Islam. Tidak hanya itu saja, wibawa Sang Prabhu akan jatuh dimata para pendukungnya. Tidak ada artinya tahta yang diperoleh dari belas kasihan musuh. Masyarakat Majapahit akan memandang rendah pemimpin mereka yang mau menerima tahta seperti itu. Selama ini, Raja-Raja Majapahit, tidak pernah melakukan itu. Bila wibawa Sang Prabhu telah jatuh, dengan sendirinya, para pengikut Sang Prabhu akan berani juga bermain-main dengan Sang Prabhu kelak. Hukum tidak akan dipatuhi. Para pembangkang akan muncul dimana-mana bak jamur tumbuh dimusim penghujan. Dan lagi, apakah Sang Prabhu tidak malu menerima tahta dari anaknya sendiri?

Sebaiknya Sang Prabhu tidak menerima tawaran itu.

Sang Prabhu menghela nafas.

Sunan Kalijaga mohon bicara. Apabila memang Sang Prabhu tidak mau menerima tahta Majapahit dari tangan Raden Patah, maka seyogyanya Sang Prabhu mempertimbangkan kembali jika hendak mendapatkannya dengan jalan merebut. Sebab, bila hal itu sampai terjadi, tidak bisa dibayangkan, tanah Jawa akan banjir darah. Dukungan kekuatan militer bagi Sang Prabhu akan datang dari segenap pelosok Nusantara, tidak bakalan tanggung-tanggung lagi. Jawa akan semakin membara bila seluruh Nusantara akan bangkit. Pembunuhan yang lebih besar dan mengerikan akan terjadi.

Sang Prabhu Brawijaya bagaikan disodori buah simalakama, dimakan mati tidak dimakan pun mati.

Sejenak, Sang Prabhu berunding dengan para penasehat beliau yang terdiri dari para ahli hukum dan agamawan. Sejurus kemudian, beliau menyatakan kepada Sunan Kalijaga hendak merundingkan hal ini dengan para penasehat lebih dalam lagi. Dan Sunan Kalijaga diperbolehkan menghadap esok hari lagi. Sunan Kalijaga dan seluruh rombongannya diberikan tempat bermalam, dengan pengawalan ketat.

Keesokan harinya, Sunan Kalijaga dipanggil menghadap. Prabhu Brawijaya memutuskan, untuk menghindari pertumpahan darah yang lebih besar lagi, beliau tidak akan mengadakan gerakan perebutan tahta kembali. Lega Sunan Kalijaga mendengarnya.

Namun apa yang akan dilakukan Sang Prabhu agar seluruh putra-putra beliau mau merelakan tahta diduduki Raden Patah? Begitu Sunan Kalijaga meminta kejelasan langkah selanjutnya. Sang Prabhu mengatakan, beliau akan mengeluarkan maklumat kepada seluruh putra-putra beliau untuk bersikap sama seperti dirinya. Untuk berjiwa besar memberikan kesempatan bagi Raden Patah memegang tampuk kekuasaan. Terutama kepada keturunan beliau di Pengging, maklumat ini benar-benar harus dipatuhi. Semua sudah paham, yang berhak mewarisi tahta Majapahit sebenarnya adalah keturunan di Pengging.

Kini, Sang Prabhu yang mempertanyakan jaminan kebebasan beragama kepada Sunan Kalijaga, apakah Demak Bintara bisa memberikan wilayah-wilayah otonomi khusus bagi para penguasa daerah yang mayoritas masyarakatnya tidak beragama Islam? Bisakah Demak Bintara sebijak Majapahit dulu? Bukankah keyakinan yang dianut Raden Patah menganggap semua yang diluar keyakinan mereka adalah musuh?

Sunan Kalijaga terdiam. Dan setelah berfikir barang sejenak, Sunan Kalijaga betjanji akan ikut andil menentukan arah kebijakan pemerintahan Demak Bintara. Dan itu berarti, mulai saat ini, dia harus ikut terjun kedunia politik. Dunia yang dihindarinya selama ini ( Tahta Kadipaten Tuban yang diserahkan kepadanya, dia berikan kepada Raden Jaka Supa, suami adiknya Dewi Rasa Wulan : Damar Shashangka).

Prabhu Brawijaya bernafas lega. Dia percaya pada sosok Raden Sahid atau Sunan Kalijaga ini.

Sunan Kalijaga menambahkan, Sang Prabhu seyogyanya kembali ke Trowulan. Tidak usah meneruskan menyeberang ke pulau Bali. Sebab dengan adanya Sang Prabhu di Trowulan, para putra dan masyarakat tahu kondisi beliau. Tahu bahwasanya beliau baik-baik saja. Sehingga seluruh pendukung beliau akan merasa tenang.

Kembali Sang Prabhu berunding dengan para penasehat sejenak Kemudian beliau memeberikan jawaban.

Ada beliau di Trowulan ataupun tidak, stabilitas negara sepeninggal beliau tergulingkan dari tahta, mau tidak mau, tetap akan terganggu. Karena para pendukung beliau pasti juga banyak yang belum bisa menerima pemberontakan Raden Patah ini. Namun, jika tidak ada komando khusus dari beliau, hal itu tidak akan menjadi sebuah kekacauan yang besar. Pembangkangan daerah per daerah pasti terjadi. Tapi, Sang Prabhu menjamin, tanpa komando beliau, penyatuan kekuatan Majapahit dari daerah per daerah tidak bakalan terjadi. Dan, beliau tidak perlu pulang ke Trowulan.

Sunan Kalijaga resah. Bila Sang Prabhu ke Bali, Sunan Kalijaga takut beliau akan berubah pikiran begitu melihat betapa militan-nya para pendukung beliau disana. Mau tidak mau, Prabhu Brawijaya harus bisa diusahakan pulang ke Trowulan. Sunan Kalijaga memutar otak.

Sunan Kalijaga tahu, hati Prabhu Brawijaya sangat lembut. Dan kini, Sunan Kalijaga akan berusaha mengetuk kelembutan hati beliau. Sunan Kalijaga memberikan gambaran betapa mengerikannya jika para pendukung beliau benar-benar siap melakukan gerakan besar. Tidak ada jaminan bagi Sang Prabhu sendiri bahwa beliau tidak akan berubah pikiran bila tetap meneruskan perjalanan ke Bali. Sunan Kalijaga memohon, Prabhu Brawijaya harus mengambil jarak dengan para pendukung beliau. Nasib rakyat kecil dalam hal ini dipertaruhkan. Mereka harus lebih diutamakan.

Sunan Kalijaga memberikan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi jika Sang Prabhu tetap hendak ke Bali

Diam-diam, Prabhu Brawijaya berfikir. Diam-diam hati beliau terketuk. Kata-kata Sunan Kalijaga memang ada benarnya. Prabhu Brawijaya tercenung. Beliau memutuskan pertemuan untuk sementara disudahi. Sunan Kalijaga diminta kembali ketempatnya untuk sementara waktu.

Dan, Prabhu Brawijaya ingin menyendiri. Ingin merenung tanpa mau diganggu oleh siapapun. Ketika malam menjelang, Sang Prabhu memanggil Sabdo Palon dan Naya Genggong. Bertiga bersama-sama membahas langkah selanjutnya.

Dan, ketika malam menjelang puncak, Sabdo Palon dan Naya Genggong berterus terang, Mereka berdua menunjukkan siapa sebenarnya jati dirinya. Diiringi semburat cahaya lembut, Sabdo Palon dan Naya Genggong ‘menampakkan wujudnya yang asli’ kepada Prabhu Brawijaya.

Prabhu Brawijaya terperanjat. Serta merta beliau menghaturkan hormat, bersembah. Kini, malam ini, untuk pertama kalinya, Sang Prabhu Brawijaya bersimpuh. ( Siapa mereka? Masih rahasia : Damar Shashangka).

Sabdo Palon dan Naya Genggong memberikan gambaran apa yang bakal terjadi kelak di Nusantara. Semenjak hari kehancuran Majapahit, ‘kesadaran’ masyarakat Nusantara akan jatuh ketitik yang paling rendah. ‘Kulit’ lebih diagung-agungkan dari pada ‘Isi’. ‘Kebenaran Yang Mutlak’ dianggap sebagai milik golongan tertentu. Dharma diputar balikkan. Sampah-sampah seperti ini akan terus tertumpuk sampai lima ratus tahun kedepan. Dan bila sudah saatnya, Alam akan memuntahkannya. Alam akan membersihkannya.

Nusantara akan terguncang. Gempa Bumi, banjir bandang, angin puting beliung, ombak samudera naik ke daratan, gunung berapi memuntahkan laharnya berganti-gantian, musibah silih berganti, datang dan pergi. Bila waktu itu tiba, Alam telah melakukan penyeleksian. Alam akan memilih mereka-mereka yang ‘berkesadaran tinggi’. Yang ‘kesadarannya masih rendah’, untuk sementara waktu disisihkan dahulu atau akan dilahirkan ditempat lain diluar Nusantara. Bila saat itu sudah terjadi, Sabdo Palon dan Naya Genggong akan muncul lagi, kembali ke Nusantara. Sabdo Palon dan Naya Genggong akan ‘merawat tumbuhan kesadaran’ dari mereka-mereka yang terpilih. Sabdo Palon dan Naya Genggong akan menjaga ‘tumbuhan Buddhi’ yang mulai bersemi itu. Itulah saatnya, agama Buddhi, agama Kesadaran akan berkembang biak di Nusantara. Dan Nusantara, pelan tapi pasti, akan dapat meraih kejayaannya kembali.

Memang sudah menjadi garis karma, kehendak Hyang Widdhi Wasa, mereka-mereka saat ini berkuasa di Nusantara. Prabhu Brawijaya tidak ada gunanya mempertahankan Shiva Buddha. Prabhu Brawijaya lebih baik menuruti kehendak mereka-mereka yang tengah berkuasa. Kelak, Prabhu Brawijaya juga akan lahir lagi, lima ratus tahun kemudian, untuk ikut menyaksikan berseminya agama Buddhi.

Menangislah Prabhu Brawijaya. Semalaman beliau menangis. Semua rahasia masa depan Nusantara, dijabarkan oleh Sabdo Palon dan Naya Genggong.

Keesokan harinya, beliau memanggil Sunan Kalijaga. Dihadapan seluruh yang hadir, beliau menyatakan hendak kembali ke Trowulan. Dan yang lebih mengagetkan, beliau menyatakan masuk Islam demi menjaga stabilitas negara.

Sunan Kalijaga dan seluruh yang hadir terperangah mendengar keputusan Sang Prabhu. Beberapa penasehat, pejabat dan kepala pasukan Bhayangkara, bersujud sambil menangis haru. Mereka memohon agar Sang Prabhu mencabut kembali sabda yang telah beliau keluarkan. Situasi tegang, sedih, bingung…

Sabdo Palon dan Naya Genggong angkat bicara. Dihadapan Prabhu Brawijaya, Sunan Kalijaga dan seluruh yang hadir, mereka mengucapkan sebuah sumpah, bahwasanya lima ratus tahun kemudian, mereka berdua akan kembali. ( Inilah yang lantas dikenal dengan JANGKA SABDO PALON NAYA GENGGONG oleh masyarakat Jawa sampai sekarang. Baca catatan saya tentang SERAT SABDO PALON. : Damar Shashangka).

Selesai mengucapkan sumpah mereka, Sabdo Palon dan Naya Genggong mencium tangan Sang Prabhu Brawijaya. Sabdo Palon berbisik :

“Lima ratus tahun lagi, ananda akan bertemu dengan kami kembali. Sekarang sudah saatnya kita berpisah. Selamat tinggal ananda.”

Sabdo Palon dan Naya Genggong menyembah hormat, lalu bergegas keluar dari ruang pertemuan. Semua yang hadir masih bingung melihat peristiwa ini. Diantara mereka, ada beberapa yang ikut menyembah, melepas lencana mereka dan memohon maaf kepada Sang Prabhu untuk undur diri.

Bagaikan tugu dari batu, Sang Prabhu Brawijaya diam tak bergerak. Tinggal beberapa orang yang ada didepan beliau. Beberapa pasukan Bhayangkara yang memutuskan untuk setia mengiringi Sang Prabhu. Juga ada Sunan Kalijaga, yang masih pula ada di sana.

Setelah kediaman beliau yang lama, Sunan Kalijaga memberanikan diri menanyakan keputusan Sang Prabhu tersebut. Sang Prabhu menjawab, semua memang harus terjadi. Mendengar sabda Sang Prabhu, Sunan Kalijaga segera mendekat kepada beliau.

Sunan Kalijaga memohon dengan segala hormat, apabila Sang Prabhu benar-benar ikhlas menyerahkan tahta kepada Raden Patah, maka beliau harus rela melepaskan mahkota beserta pakaian kebesaran beliau sebagai Raja Diraja. Sejenak Sang Prabhu masih ragu, namun ketika sekali lagi Sunan Kalijaga memohon keikhlasan beliau, maka Sang Prabhu menyetujuinya. ( Inilah simbolisasi rambut beliau dipotong oleh Sunan Kalijaga. Pada kali pertama, rambut beliau tidak bisa putus. Dan pada kali kedua, barulah bisa putus : Damar Shashangka.)

Tidak menunggu waktu lama, berangkatlah rombongan Prabhu Brawijaya yang terdiri dari sedikit pasukan Bhayangkara dan Sunan Kalijaga beserta para santri menuju Trowulan. Sesampainya di Trowulan, masyarakat Majapahit menyambut dengan penuh suka cita. Keadaan mulai berangsur membaik ketika Sang Prabhu Brawijaya mengeluarkan maklumat agar semua pertikaian dihentikan. Disusul kemudian, keluar maklumat serupa dari Demak Bintara yang memfatwakan, peperangan sudah berhenti, diharamkan membunuh mereka yang telah kalah perang. Kondisi anarkhisme, berangsur-angsur menjadi kondusif. Stabilitas untuk sementara waktu kembali normal. Stabilitas yang dibawa dari Blambangan ini, membuat Sunan Kalijaga, sebagai suatu kenangan keberhasilan mendamaikan kedua belah pihak, memberikan nama baru kepada Blambangan, yaitu Banyuwangi. ( Disimbolkan, Sunan Kalijaga membawa sepotong bambu kemudian dia mengisinya dengan air kotor waktu masih di Blambangan. Begitu sesampainya di Trowulan, air dalam bambu itu berubah menjadi jernih dan wangi. Bambu adalah lambang dari sebuah negara, air kotor yang diambil Sunan Kalijaga adalah masalah yang dibuat oleh orang-orang yang sekeyakinan dengan Sunan Kalijaga sendiri. Air yang berubah jernih setibanya di Trowulan melambangkan kembalinya stabilitas negara.: Damar Shashangka).

Bergiliran, para putra Prabhu Brawijaya datang ke Trowulan. Adipati Handayaningrat dari Pengging beserta Ki Ageng Pengging putranya. Raden Bondhan Kejawen dari Tarub. Raden Bathara Katong dari Ponorogo. Raden Lembu Peteng dari Madura, dan masih banyak lagi. Tak ketinggalan Raden Patah sendiri.

Dihadapan seluruh putra-putra beliau, Sunan Kalijaga menyampaikan amanat Sang Prabhu agar pertikaian dihentikan. Dan agar Raden Patah, diikhlaskan menduduki tahta Demak Bintara. Seluruh putra-putra beliau, wajib menerima dan mentaati keputusan ini.

Kepada Sunan Kalijaga, Sang Prabhu Brawijaya memberikan amanat untuk mendampingi keturunan beliau yang ada di Tarub yaitu Raden Bondhan Kejawen dan keturunan beliau yang ada di Pengging. Terutama kepada Raden Bondhan Kejawen, Prabhu Brawijaya telah mengetahuinya dari Sabdo Palon dan Naya Genggong, bahwa kelak, dari keturunannya, akan lahir Raja-Raja besar di Jawa. Dinasti Raden Patah dan dinasti dari Pengging, tidak akan bertahan lama.

Prabhu Brawijaya bahkan membisikkan kepada Sunan Kalijaga, bahwa Demak hanya akan dipimpin oleh tiga orang Raja. Setelah itu akan digantikan oleh keturunan dari Pengging, cuma satu orang Raja. Lantas digantikan oleh keturunan dari Tarub. Banyak Raja akan terlahir dari keturunan dari Tarub.

(Ramalan ini terbukti, Demak hanya diperintah oleh tiga orang Sultan. Yaitu Raden Patah, Sultan Yunus lalu Sultan Trenggana. Setelah itu terjadi pertumpahan darah antara Kubu Abangan dengan Kubu Putihan. Dan Jaka Tingkir tampil kemuka. Jaka Tingkir adalah keturunan dari Pengging. Tapi tidak lama, keturunan dari Tarub, yaitu Danang Sutawijaya, yang kelak dikenal dengan gelar Panembahan Senopati Ing Ngalaga Mentaram, akan tampil kemuka menggantikan keturunan Pengging. Panembahan Senopati inilah pendiri Kesultanan Mataram Islam, yang sekarang terpecah menjadi Jogjakarta, Surakarta, Mangkunegaran dan Paku Alaman :Damar Shashangka).

Tidak berapa lama kemudian, Prabhu Brawijaya jatuh sakit. Dalam kondisi akhir hidupnya, Sunan Kalijaga dengan setia mendampingi beliau. Kepada Sunan Kalijaga, Prabhu Brawijaya berwasiat agar dipusara makam beliau kelak apabila beliau wafat, jangan dituliskan nama beliau atau gelar beliau sebagai Raja terakhir Majapahit. Melainkan beliau meminta agar dituliskan nama Putri Champa saja. Ini sebagai penanda kisah akhir hidup beliau, juga kisah akhir Kerajaan Majapahit yang terkenal dipelosok Nusantara. Bahwasanya, beliau telah ditikam dari belakang oleh permaisurinya sendiri Dewi Anarawati atau Putri Champa dan beliau diperlakukan dan tidak dihargai lagi sebagai seorang laki-laki oleh Raden Patah, putranya sendiri.

Sunan Kalijaga sedih mendapat wasiat seperti itu. Namun begitu beliau wafat, wasiat itu-pun dijalankan.

Seluruh masyarakat berkabung. Seluruh putra dan putri beliau berkabung.

Dan kehancuran Majapahit. Kehancuran Kerajaan Besar ini dikenang oleh masyarakat Jawa dengan kalimat sandhi yang menyiratkan angka-angka tahun sebuah kejadian (Surya Sengkala), yaitu SIRNA ILANG KERTANING BHUMI. SIRNA berarti angka ‘0’. ILANG berarti angka ‘0’. KERTA berarti angka ‘4’ dan BHUMI berarti angka ‘1’. Dan apabila dibalik, akan terbaca 1400 Saka atau 1478 Masehi. Kalimat KERTAning BHUMI diambil dari nama asli Prabhu Brawijaya, yaitu Raden Kertabhumi. Inilah kebiasaan masyarakat Jawa yang sangat indah dalam mengenang sebuah kejadian penting.

Dan Raden Patah, memindahkan pusat pemerintahan ke Demak Bintara. Dia dikukuhkan oleh Dewan Wali Sangha sebagai Sultan dengan gelar Sultan Syah ‘Alam Akbar Jim-Bun-ningrat.

Keinginan orang-orang Islam terwujud. Demak Bintara menjadi ke-Khalifah-an Islam pertama di Jawa. Tapi, pemberontakan dari berbagai daerah, tidak bisa diatasi oleh Pemerintahan Demak. Wilayah Majapahit yang dulu luas, kini terkikis habis. Praktis, wilayah Demak Bintara hanya sebatas Jawa Tengah saja. Kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian seolah menjauh dari Demak Bintara. Darah terus tertumpah tiada habisnya. Perebutan kekuasaan silih berganti. Nusantara semakin terpuruk. Semakin tenggelam dipeta perpolitikan dunia.

Disusul kemudian, pada tahun 1596 Masehi, Belanda datang ke Jawa. Nusantara semakin menjadi bangsa tempe! Semenjak Majapahit hancur, hingga sekarang, kemakmuran hanya menjadi mimpi belaka.